Jatuh
cinta itu soal gampang, move on yang susah.
Aku
menemukan kata-kata itu dari buku harian
kakakku seminggu yang lalu. Tercetak tebal di antara tulisannya yang lain. Apa
kakakku sedang patah hati ya? Memangnya sesakit itukah patah hati? Apa sampai membuat
orang macam kakakku yang keras kepala jadi melunak?
Pikiranku
tertepis jauh saat aku menyangkal sakit hati itu sendiri. Berhubung aku belum
pernah jatuh cinta apalagi pacaran, jadi aku belum pernah tahu apa itu patah
hati. Setidaknya dari cerita telenovela yang aku baca, patah hati tidak akan
melepas orang yang jatuh cinta. Sama seperti orang yang sukses, mereka tidak
akan berjaya tanpa pernah terjatuh atau gagal terlebih dahulu. Apalagi cinta.
Hingga
di usiaku yang ke delapan belas tahun, aku baru tahu bagaimana memiliki
kekasih. Namanya Dino Satyabisma. Semua teman mengatakan aku beruntung, karena
Dino terhitung masuk jajaran anak populer di sekolah. Anak basket, masuk OSIS,
dan juga anak IPA. Kecintaan guru dan siswi perempuan di sekolahku.
“Lo
kurang beruntung apa punya Dino, Grace? Dia tuh udah punya segalanya,” kata
beberapa teman dekatku kala itu. Ya, aku memang membenarkan awalnya. Sampai aku
menemukan hal yang tidak diketahui orang lain tentang Dino.
Dia
pecandu. Aku tahu hal itu saat dia mengajakku ke rumahnya dan menemukan
beberapa obat-obatan terlarang. Kakakku seorang polisi, jadi aku bisa
membedakan mana obat untuk penyakit dan mana narkoba. Paling tidak aku tahu
dasar-dasarnya tentang obat seperti itu. Tapi Dino sama sekali tidak menyembunyikannya
dariku. Dia malah terang-terangan menunjukkannya padaku.
Hari
itu dia bercerita padaku, tentang segala hal yang terjadi dalam hidupnya.
Keluarga yang kaya tidak beguna banyak baginya. Teman dan kepopulerannya di
sekolah hanya bisa membahagiakannya sesaat saja. Dia kekurangan kasih sayang
karena orang tuanya sudah bercerai saat dia masih bergelimpung di Sekolah
Dasar.
“Rumah
itu bukan tempat, Grace,” katanya padaku. “Rumah itu perasaan. Kita punya rumah
gede juga percuma kalau nggak bisa ngerasain arti rumah itu sendiri, kan?”
Aku
hanya mengangguk kecil. Tidak bermaksud membenarkan omongannya, hanya tidak
ingin menyela ceritanya. Semua orang berhak memandang hidup dengan pemikiran
mereka. Termasuk Dino, yang mungkin lebih menikmati hidupnya dengan cara
seperti ini.
“Oh
iya, Din, aku diem bukan berarti aku setuju sama kamu yang pake barang itu,
ya,” kataku padanya pelan. Menjaga perasaannya agar dia tidak tersinggung. “Aku
cuman menghargai kamu. Tapi kalau kamu mau berhenti, aku bakalan bantu kamu.”
Kali
itu dia tidak menjawab apa-apa. Hanya tersenyum kecil dan menggenggam tanganku.
*
Seminggu
kemudian Dino memutuskanku. Aku tidak tahu sebabnya apa tapi dia memutuskanku
dengan cara yang baik. Aku tahu Dino bukan tipikal pengecut. Dia berani
mengungkapkan isi hatinya, baik dalam kondisi sadar maupun memakai barang haram
itu.
Keputusan
Dino bukan hanya menjauhiku. Dino juga keluar dari OSIS, tim basketnya pun
mengatakan kalau Dino sudah mengundurkan diri. Hingga lambat laun, batang
hidung Dino tidak pernah terliat lagi di sekolah.
Pikiranku
saat itu was-was. Takut terjadi hal yang tidak semua orang inginkan. Semua
orang menyayangi Dino. Termasuk aku yang baru beberapa bulan dekat dengannya.
Mungkin ada perasaan sayang, tapi tidak sebesar itu. Jujur saja, aku takut
patah hati. Bagaimana jika aku segalau kakakku?
“Nih
ya, gue kasih tau, kalau lo putus sama Dino, lo nggak bakalan bisa move on deh.
Dia itu nggak bakalan bikin orang nyesel udah pacaran sama dia. Tapi dia bakal
bikin orang nyesel karena udah mutusin dia,” beberapa waktu lalu aku diberi
nasihat seperti itu oleh seseorang.
Pikiranku
melesat jauh. Jika aku menyesal, pasti ada sesuatu yang sangat berharga yang
aku lepaskan dari genggamanku. Jika aku tidak menyesal, mereka pasti mengatakan
kalau aku hanya main-main saja dengan Dino selama ini. Tapi menuruti apa kata
orang itu tidak akan ada habisnya. Yang ada malah kita sendiri yang lelah.
Pada
akhirnya, aku menutup telinga. Hanya Dino yang menjadi pusat perhatianku selama
ini. Aku mencari keberadaannya. Bertanya pada teman-teman tongkrongannya, teman
main basketnya, teman sekelas, bahkan aku nekat datang ke rumahnya dan bertanya
pada satpam di rumahnya. Namun hasil yang aku dapat tetap nihil.
“Loh,
mbak ini kan pacarnya mas Dino, kan?” tanya satpam rumah Dino saat aku hampir
menyalakan sepedaku hendak pulang ke rumah.
“Iya,
Pak. Eh, saya mantannya Dino.”
“Anu...
mbak namanya siapa?” tanyanya lagi.
“Grace,
Pak.”
“Sebentar
mbak, ada titipan.”
Satpam
rumah Dino memberikan bungkusan kotak besar berwarna coklat padaku. Aku tak
tahu apa isinya, namun kuterima bingkisan itu dengan senyuman. Kutinggalkan
rumah Dino dengan wajah tidak enak. Aku merindukannya.
Sampai
di rumah, aku membuka bingkisan itu. Isinya sebuah boneka dan sebuah album
foto. Di dalamnya terdapat foto kami berdua. Ada beberapa foto yang sengaja
diambil tanpa sepengetahuanku selama ini. Aku tersenyum kecil. Lalu sampai di
belakang, semakin ke belakang halaman, aku menemukan fotonya yang pucat.
Beberapa menunjukkan foto dia berada di rumah sakit. Dia sangat pucat saat
memakai baju berwarna hijau rumah sakit. Kadang ada foto yang menunjukkan dia
tertidur dengan pulasnya. Dan melihat jajaran foto-foto itu, air mataku sama
sekali tidak menetes.
Di
akhir album foto, aku menemukan dua buah surat. Yang pertama dari Dino untukku.
Tulisannya sangat khas sekali.
Dear, Grace.
Halo, Babe. Mungkin
saat kamu baca surat ini, kita udah putus ya? Maaf karena jadi manusia bodoh
yang udah ninggalin kamu. Aku nggak bermaksud jauhin kamu. Aku nggak mau aja
jadi orang yang nggak bertanggung jawab atas hubungan kita. Mending putus, jadi
orang jahat, dibanding ninggalin kamu tanpa kabar apa pun.
Aku kecanduan,
Grace. Papa udah tau kalau aku pake obat-obatan. Dia marah besar. Aku nulis
surat ini di tempat rehabilitasi. Tapi lagi-lagi aku sakau. Aku nggak bisa
tahan lebih lama tanpa mereka. Susah, Grace. Mending aku mati daripada nggak
pake obat.
Makasih udah jadi
tempat paling nyaman buatku. Makasih buat waktu pendek yang udah kamu habisin
sama aku. Mungkin nggak ada hal yang paling inginkan dibanding kamu. Makanya
aku ngejaga kamu selama ini, karena aku menganggap kamu sebagai rumahku.
Jangan cari aku ya,
Babe. Kali aja aku udah mati. Hehehe. I love you.
Dino Satyabisma.
Surat
kedua sepertinya bukan dari Dino. Karena tulisannya berbeda. Benar, surat itu
memang bukan dari Dino, melainkan dari Ayahnya. Tulisannya cukup singkat. Namun
mampu menjelaskan semuanya.
Halo, Grace. Saya
Ayah Dino. Saya berterimakasih karena kamu selalu ada untuk Dino selama ini,
menjadi teman dan rumah untuknya. Dia selalu berkata seperti itu pada saya;
bahwa kamu adalah rumahnya selama ini. Dia sakit, Nak. Dino masuk rehabilitasi
karena obat-obatan, namun tidak bisa disembuhkan. Dua hari yang lalu, Dino
sudah pergi ke surga. Dia menitipkan album itu pada saya agar bisa
menyampaikannya ke kamu. Sekali lagi terimakasih atas apa yang sudah kamu
berikan untuk anak saya. Sekian.
Aku
menutup kedua surat itu dan memasukkannya kembali ke album. Kupandangi boneka
itu dengan seksama, hingga tanpa sadar aku tersenyum. Kuusap kepala boneka itu.
Rindu itu lebih menyiksa dari patah hati. Nyatanya aku tidak benar-benar patah
hati. Perpisahan kami sangatlah biasa, tidak ada permusuhan atau saling
menjauhi. Dino meninggalkanku secara baik-baik.
Mereka
salah jika mengatakan aku patah hati. Karena aku masih sedang jatuh cinta
dengan Dino-ku sejauh ini. Aku tak pernah menganggap hubungan kita yang singat
ini telah berakhir. Bagiku, Dino hanya pamit pergi. Perasaan ini masih
untuknya. Walau dia telah jauh di sana.
“Aku
kangen kamu, Babe,” lirihku sambil memeluk boneka pemberian Dino.
-FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar