Sore
itu aku menghabiskan hari terakhirku di kampus dengan Rangga. Kami duduk berdua
menikmati batagor yang dari kemarin
sudah memenuhi kepala Rangga. Sekian bulan bersamanya, aku baru sadar kalau
Rangga itu antusias terhadap hal-hal seperti makanan pinggir jalan.
“Kamu
kenapa sih, Tha? Wajahmu lesu amat, sampai batagor
seenak ini dicuekin,” dia menegurku sambil tak henti mengunyah makanannya.
“Sebel
nih,” ujarku lemas. “Tiga musibah sekaligus dalam satu hari. Mau histeris, tapi
nggak ada tenaga buat marah-marah. Mental down
banget pokoknya.”
Aku
hanya mengaduk makananku. Berbeda dengan Rangga yang sudah beralih ke piring
keduanya sekarang. Tidak masalah jika Rangga makan sebanyak itu. Asal dia
sehat, aku turut bahagia. Asal jangan sampai sakit lah dianya.
“Cerita
dong, Nitha. Biasanya kamu juga cerita masalahmu, kan?”
“Nanti
kalau aku cerita mood aku malah
berantakan gimana?”
“Ada
aku, kan? Anggep aja doping.”
Perkataan
Rangga membuatku memutar bola mata. Agak sedikit kesal memang. Sudah pernah
kubilang kalau Rangga itu memang menyebalkan, kan? Tapi karenanya juga, aku
dapat tersenyum setelah hanya kejengkelan yang aku rasakan seharian ini. Soal dia
adalah doping, memang benar adanya. Kesalahanku
saat beberapa minggu yang lalu aku mengatakan kalau dia adalah moodbooster untukku sekaligus doping yang membuat candu. Sejak itu,
tingkat kepercayaandirinya semakin besar.
“Tadi
pagi sebelum ke kampus, ban sepedaku bocor,” aku mulai bercerita. Dan di saat
yang sama, Rangga berhenti menyantap makanannya. Namun mulutnya yang masih
penuh tetap aktif mengunyah dalam diam. “Lama banget mas-masnya nambal itu ban
sepeda. Udah gitu ya, mana panas lagi. Oke lah nggak masalah kalau panas dan
segala macem. Tapi ini nambal udah lama, eh mas-masnya juga keasikan ngobrol
sama temennya. Rumpi, kan? Nggak tau apa kalau aku mau kuliah.”
“Nggak
tau lah, Tha. Kan kamu nggak bilang ke mas-masnya.”
“Rese
kamu mah,” ujarku kesal. Hancur sudah niatku bercerita.
“Hey,
hey, jangan ngambek dong,” Rangga mengusap pelan rambutku. Dia tersenyum,
membujukku agar melunak sedikit. Kuhembuskan napas pelan, kemudian mengangguk
saat dia mengatakan maafnya padaku. “Lanjut ceritanya kalau gitu.”
“Ya
kan habis nambal, aku ke kampus. Pastinya telat, kan? Dosennya belum masuk. Lebih
tepatnya dosennya dan aku tuh jalan barengan ke kelas. Terus pas aku duduk,
beliau manggil aku. Ditanyain kan tuh, kenapa baru duduk dan lalala.”
“Lalala?”
Rangga mengernyitkan dahi. Aku tersenyum kecil. Wajahnya lucu.
“Maksud
aku ya pokoknya dosennya ngoceh gitu. Marah-marah sama aku. Lah aku udah kesel,
ban bocor, disemprot sama ocehan pagi-pagi ketika belum sarapan, ya aku ikutan
ngoceh. Walau nggak ngelawan banget. Tapi ya tetep aja ngeyel akunya. And you know what? Aku dikeluarkan dari
kelas.”
Rangga
tidak berkomentar apa pun. Dia masih sibuk mendengarkan sambil sesekali
menganggukkan kepalanya. Makanan di tangannya tidak dia jamah kembali. Sudah menjadi
kebiasaannya menghargai orang yang sedang mengajaknya berbicara. Walau sebenarnya
aku tidak pernah keberatan kalau Rangga makan sambil mendengarkan ceritaku. Tapi
dia sendiri yang memutuskan seperti itu. How
cute he is?
“Terus
yang ketiga apa?” tanyanya pelan.
“Hmmm,
ini sih yang paling bikin mood
berantakan,” kataku lemas. Air mataku sudah menggenang walau senyum terpaksa
sudah aku tunjukkan pada Rangga. “IPK aku turun, Rang. Rasanya aku pengen
teriak di dalam helm karena nggak mau bikin keributan tau nggak?”
Pada
akhirnya aku menangis. Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Rangga hanya
mengusap rambutku pelan sambil menepuk pundakku. Memang seperti ini caranya
menenangkanku. Dia tidak pernah menghentikanku saat sedang menangis. Dia selalu
berkata kalau air mata itu mengandung hormon yang perlu dikeluarkan. Jadi orang
yang menangis itu seringkali merasa lega walau menangis tidak menyelesaikan
masalah.
“Kayaknya
kamu emang bener-bener harus histeris deh, Tha,” kata Rangga pada akhirnya. Dan
ucapannya membuatku berhenti menangis –––tapi belum bisa berhenti sesenggukan.
“Maksud
kamu?”
“Ya
gimana ya? Nangis boleh lah, tapi sesekali kamu scream voice kayaknya keren.”
“Rangga
ih!” aku memukul lengannya, dan dia hanya tertawa.
“Loh,
emang salah? Nggak ada yang ngelarang seorang Nitha buat...”
“Diem
nggak!” potongku cepat.
Dia
hanya mengangguk sambil mengangkat dua jarinya menandakan perdamaian. Kemudian dia
mengeluarkan tisu dari dalam tas dan mengusap air mataku dengan tisu itu. Bagaimana
aku tidak sayang terhadap orang yang membuatku merasa gemas dan bahagia di saat
bersamaan? Menyebalkan, kan? Iya. Sangat.
“Kamu
pernah nggak sih mengalami hal-hal yang bikin kamu histeris, Rang?”
Aku
bertanya iseng padanya saat dia memasukkan tisu ke dalam tasnya kembali. Lucunya
seorang Rangga adalah; dia tetap terlihat maskulin walau di dalam tasnya
terdapat tisu. Bahkan ketika dia mengeluarkan benda itu dari tasnya pun masih
tidak mengurangi kecowoaannya.
“Pernah
dong,” katanya bangga.
“Iya?
Kapan?”
“Hmm,
kalau ketemu pak Ahok, aku bakal histeris.”
“Katanya
pernah. Itu mah belum kejadian, Rang.”
“Iya,
ya? Hmm, kamu tau kan hidup aku ya gini-gini aja,” iya aku tahu, walau gini-gininya Rangga berbeda dari gini-gininya aku. “Jadi aku mungkin akan
mengungkapkan hal-hal yang bakalan bikin aku histeris aja kali ya?”
Kuanggukan
kepala. Pertanda menyetujui omongannya.
“Ya
itu tadi, yang pertama ketemu pak Ahok. Terus, mungkin keterima polisi padahal
aku masuk jurusan pemesinan,” aku mengerutkan kening, tapi tidak berniat
memutus omongannya. “Yang terkahir, yang mungkin bakalan bikin aku amat-sangat-sungguh-sebenarnya-terutama...”
“Rang,
please! Serius.”
“Oke,
Honey,” nah, dia paling pintar membuat
orang meleleh. “Yang paling bikin aku histeris, ketemu sama setan.”
“Kamu-apa?
Setan?”
“Aku
manusia lah, Nitha!”
“Kamu
takut sama setan?”
“Ya
nggak takut gitu sih, tapi agak geli.”
Aku
tersenyum. Kugelengkan kepala karena tidak menyangka perkataannya. Seorang Rangga
Pramudia, bisakah kita percaya? Bisa. Tapi itu memalukan, man. Kalau ketemu pak Ahok, ya mungkin aku juga akan sedikit
tersenyum sana-sini karena berhadapan dengan salah satu tokoh tersohor di
Indonesia. Menjadi polisi? Ya, bagi beberapa orang yang menginginkan pekerjaan
tersebut pastilah pantas kalau histeris saat kita bisa mencapai keinginan itu. Tapi...
bertemu setan?
“Emang
kamu nggak geli kalau ketemu setan, Tha?”
“Suka
ngawur ya kalau ngomong,” bentakku tanpa bisa menahan senyuman karena tingkah
Rangga semakin menjijikkan.
Lambat
laun aku sadari, Rangga sedang menghiburku. Pikiranku sukses teralihkan oleh ucapannya
soal hal-hal yang membuatnya histeris. Dan dari percakapan-percakapan kecil
kami, aku menyadari kalau sebuah rasa nyaman tidak harus didatangkan dari materi.
Tidak juga dalam bentuk kata-kata motivasi. Cara Rangga menumbuhkan rasa
nyamannya adalah saat dia ada di sampingku, menghiburku, dan seringkali
mengajakku menghadapi masalah itu bersama-sama.
-FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar