Pagi
in Dyandra membuka matanya dengan keadaan gelisah. Mimpi buruk itu datang lagi.
Tepat jam tiga dini hari Dyandra terjaga dari tidurnya. Sudah seminggu
belakangan ia terus kedatangan mimpi buruk. Namun setelah matanya terbuka
lebar, ia tak pernah ingat apa yang ia impikan. Mungkin ia masih belum terbiasa
di tempat barunya.
Setelah
melihat jam di atas nakasnya yang menunjukkan pukul dua lebih tujuh belas menit
dini hari, Dyandra mencoba menutup matanya kembali. Tiga puluh menit ia
bergulung di atas kasurnya, namun senyaman apa pun tempat itu, matanya sudah
terlanjur terbuka. Ia masih terjaga.
Akhirnya
Dyandra memutuskan untuk mengambil wudhu dan melaksanakan sholat tahajud. Setelah
sholat, hatinya kembali tenang. Karena matanya tak bisa diajak kerjasama,
akhirnya Dyandra memutuskan untuk memainkan ponselnya.
Ada
beberapa pesan masuk di sana, termasuk pesan dari Haikal. Senyum tipis Dyandra
terulas saat membaca pesan yang tertera di sana. Ajakan kencan oleh Haikal
untuk Dyandra.
Haikal: Babe,
kencan yuk. Aku kangen.
Pesan
itu dikirim dua jam yang lalu. Jelas Dyandra sudah terlelap. Di Jepang
menunjukkan waktu pukul sembilan malam, jadi bisa disimpulkan kalau Haikal
belum tidur sampai lepas pukul sebelas. Dyandra hanya menggelengkan kepala. Mengingat
kebiasaan kekasihnya itu masih sama.
Dyandra: Jemput aku
dong di Jepang xoxo
Dyandra
tahu kalau Haikal tak akan membalas pesannya. Mungkin di Indonesia masih
berkisar jam lima pagi. Mustahil bagi Haikal untuk bangun pagi. Apalagi hari
itu adalah hari minggu. Tidak ada kelas yang akan membuatnya malas berada di
kampus.
Haikal: Jauh, Babe.
Kamu kapan pulang?
Gadis
bermata bulat itu mengernyitkan kening. Haikal membalasnya dalam jeda waktu
lima menit saja. Apa yang dilakukan lelaki itu pagi-pagi seperti ini?
Dyandra: Belum
tidur?
Haikal: Udah
bangun, abis subuhan. Banyakin doa sp tau kamu cpt pulang, hehe. Xoxo {}
Dyandra:
Alhamdulillah, rajin ya sekarang :))
Haikal: Dari dulu
kali -_____- kamu kebangun lagi?
Dyandra: Iya.
Dibangunin sama Allah, suruh sholat tahajud.
Haikal: Bagus dong.
Kali aja kamu emg sengaja gk kerasan di Jpg, trs pulang.
Dyandra: Kamu nih
ya, nyuruh plg terus -____-
Haikal: Iyalah. Di sini
gk asik gk ada kamu, Babe
Dyandra: Masa iya? Aku
pikir kamu udah cari yang lain, hehe
Pesan
terakhir Dyandra tidak lagi dibalas oleh Haikal. Hanya dibaca. Sampai waktu
berjalan lima belas menit pun Haikal tidak membalasnya. Rasa khawatir pun
menyelimuti hati Dyandra. Niatnya hanya bercanda. Tapi tak tahu lagi kalau
Haikal menanggapinya dengan serius. Bisa saja prasangka Dyandra salah, dan
membuat Haikal marah. Setidaknya hal itu lebih baik dibanding mendengar Haikal
mengakui kalau dirinya memang bermain api dengan perempuan lain, bukan?
Haikal
incoming call...
Dyandra
buru-buru bangkit dari tidurnya. Ia menelan salivanya setelah melihat dengan
jelas nama Haikal di layar ponselnya. Ia menggeser tombol hijau dengan ragu
sebelum akhirnya menempelkan ponsel itu ke telinganya.
“Halo,
assalamu’alaikum,” sapanya dengan suara lirih.
“Wa’alaikumsalam,” jawab Haikal di
seberang sana.
“Ke-kenapa
telfon, Kal?”
“Kangen suara kamu. Kangen sama wajah kamu. Kangen
semua hal yang udah pernah kita laluin dan nggak bakalan sama waktu aku jalanin
hari-hariku sama yang lain,” ucapan Haikal langsung menghunus hati Dyandra.
Ia merasa tersinggung.
“Maaf,
Kal. Aku cuman bercanda,” lagi-lagi Dyandra berkata pelan. Ia menyesal.
“Santai aja, Babe. Kamu harus tau, sejauh apa pun aku lari dari kamu, tetep aja kamu
adalah tujuan terakhirku. Makasih udah jaga hubungan kita dari jauh. Dengan begini
kita bakalan terhindar dari hal yang enggak-enggak, kan?”
“Iya.
Aku seneng kamu mikirnya positif, Kal. Aku sayang sama kamu yang nggak pernah
nuntut apa-apa ke aku selama ini,” Dyandra tersenyum kecil di sela ucapannya. Mengingat
memori yang pernah ia lalui bersama Haikal.
“Balik ke Indo mau aku lamar nggak?”
Pipi
bulat Dyandra memerah. Walau Haikal jelas tak melihatnya, namun Dyandra
benar-benar malu sekarang. Mungkin membahas soal lamaran tidak boleh dengan
nada bercanda. Tapi tetap saja rasanya malu jika membicarakan hal itu dengan
orang yang ia inginkan selama ini.
“Ngaco!”
ucap Dyandra pelan. Niatnya ingin mendengus kesal, namun suaranya tak terlalu
terdengar.
“Loh, serius,” sanggah Haikal. “Kan enak tuh habis nikah, kalau kita jalan atau
kencan nggak bakalan ada yang ngelarang. Orang udah sah, iya kan?”
“Sekolah
dulu deh yang pinter, Kal. Jodoh nggak bakalan kemana-mana.”
“Kamu nggak bakalan kemana-mana juga, kan?”
“Kenapa
emang?”
“Soalnya kata kamu, jodohku nggak kemana-mana.
Makanya kamu jangan kemana-mana ya, Babe. Hehehe,” Haikal terkekeh geli atas ucapannya sendiri. Ia tak tahu
di ujung sana, Dyandra mati-matian menahan senyumannya sendiri.
“Bisa
aja ya kamu. Emang kalau kencan, mau ajak kemana?”
“Kemana ya? Kamu maunya kemana, Dra?”
“Hmm,
mau nonton film aja deh.”
“Sederhana banget, Babe. Yang agak nantang gitu loh.”
“Heys,”
Dyandra memasang muka sebal. Haikal sudah mulai menjengkelkan kalau berlagak. “Ah,
iya, aku pengen lihat film-film lama dan mengunjungi tempat yang ada di film
itu. Menantang, kan?”
“Oke, siap. Mau nonton film apa aja?”
“Hmm,
Laskar Pelangi, Letters to Juliette, dan Titanic. Berarti nanti kita ke
Belitung, Paris, sama London ya, Kal? Wah, asik tuh liburan,” Dyandra sengaja
membuat suaranya terdengar semenyebalkan mungkin. Ia ingin menggoda Haikal.
“Bisa tuh. Nanti setelah kamu balik ke Indo,
kita liburan ke Belitung. Pas nikah, kita bulan madu ke Paris tuh. Nah setelah
lahir anak pertama, kita bisa liburan ke London. Gimana, Dra?”
Dyandra
tercengang. Tak menyangka jika Haikal akan menanggapi candaannya. Suara Haikal
terdengar antusias. Seolah tak ada rasa ragu di dalamnya. Seolah semua impian
mereka di masa depan dapat dilaksanakan dengan mudahnya.
“Dra, kok kamu diem? Mikirin apa? Ada film
lain yang pengen kamu tonton?”
“Eh?”
Dyandra tersadar dari lamunannya. “Enggak kok, Kal. Aku cuman mikir kalau
kenapa kamu nanggepin omonganku. Kamu tau kan aku cuman iseng bilang gitu. Aku nggak
pengen morotin kamu dan tega nyuruh kamu siapin liburan ke Paris atau London. Kalau
ke Belitung masih aku setujuin.”
“Lah kan buat calon istri sendiri. Lagian aku
kepo ya, Babe. Dari sekian banyak
film, kenapa kamu pilih tiga itu? Apa karena lokasinya memang pengen kamu
kunjungi?”
“Aku
sama sekali nggak tau Belitung sebelum liat Laskar Pelangi, Kal,” Dyandra mulai
bercerita. “Sampai hadir rasa sukaku terhadap anak-anak yang gemar menempuh
pendidikan walau dengan keterbatasan keadaan, baik secara ekonomi maupun mental
karena liat fil itu. Makanya aku pengen ke Belitung dan melihat sekolah
anak-anak Laskar Pelangi.
Kemudian
film Letters to Juliette. Film ini mengisahkan soal jodoh. Seperti teori kamu;
sejauh apa pun kamu melangkah, kalau pada akhirnya takdir menginginkan kita
bersama, kita bakalan berakhir di pernikahan kok. Bahagia itu gampang, tapi
soal sayang, aku rasa nggak semua hati bisa pas satu sama lain. Nggak semua
hati bisa melekat erat satu sama lain. Aku sebenernya nggak pengen ke Paris,
cuman kalo emang ada kesempatan ke sana, ya nggak masalah.
Lalu
film Titanic. Aku selalu jatuh cinta sama Lenoardo de Caprio. Seolah di film
ini dia menertawakan orang yang menjunjung tinggi kepercaan kalau cinta itu
datang karena terbiasa. Emang berapa lama sih waktu yang diperlukan untuk jatuh
cinta? Padahal di kapal itu mereka hanya bertemu beberapa jam aja. Iya kan? Dari
film ini, aku percaya kalau cinta itu bukan hanya perkara terbiasa, cinta bakal
hadir karena rasa nyaman dan aman. Kita bakalan merasa terlindungi walau kita
udah jatuh berkali-kali. Kita bakalan ngerasa bebas walau sedang diikat kencang
oleh rasa itu sendiri. Dan London? Aku harap aku bener-bener bisa ke sana
bareng kamu, Kal. I love you.”
Percakapan
itu berlangsung sampai waktu subuh di Jepang. Dyandra beranjak dari ranjangnya
dan menunaikan ibadah kepada Tuhannya. Dalam doanya, dia bermunajat, agar apa
pun yang ia perjuangkan saat ini, ia meminta akan berakhir indah nantinya. Jika
pada akhirnya Haikal bukanlah ujung dari perjalanannya, Dyandra selalu berdoa
untuk pria itu. Berdoa untuk kebaikannya. Walau dalam hatinya ia juga masih
ingin menjadi Rose yang menemukan Jack dalam hitungan hari dan berjuang bersama
demi sebuah rasa yang mengeratkan mereka.
-FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar