“Tha,
lo pernah nggak sih mikir kalau Rangga itu bukan tipikal pacar lo?”
Namanya Rangga. Cowok pendiam yang sudah satu bulan menjadi pacaraku. Awalnya memang hanya berdasar iseng dan penasaran terhadap orang itu. Aku dan sahabatku, Shafa, saling lempar batu untuk menentukan siapa yang bisa mendekati Rangga.
Kalian pasti bisa menebak, pada akhirnya siapa yang memutuskan untuk dekat dengannya.
Tapi aku tidak pernah menduga kalau pada akhirnya aku menjalin hubungan dengan Rangga. Karena saat aku mencoba mendekatinya, mencari info perkara kehidupannya, semua terasa mengalir. Dia berbeda, jika dibandingkan dengan semua cowok yang pernah dekat denganku.
“Dari semua cowok yang lo pacarin, ya, Tha,” sekali lagi Shafa mengoceh. Dia masih tidak terima dengan keputusan yang aku buat. Makanya aku baru memberitahu tentang hubungan kami padanya seminggu yang lalu. Dia tidak marah. Tapi tidak aku sangka Shafa akan secerewet ini.
“Kenapa sama mantan-mantan gue?” aku bertanya dengan nada malas.
“Mereka semua itu anak-anak keren. Lo inget Bima yang ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan itu, kan? Terus lagi, Revano, anak jurusan musik yang sekarang udah hits bareng band-nya. Nah, satu lagi yang baru lo putusin enam bulan yang lalu, si Aldo. Nggak terkenal dan nggak nakal, tapi kaya dan ganteng banget. Makanya gue langsung berpikir keras. Lo sama Rangga emang beneran jadian apa cuman main-main sih?”
“Beneran jadian lah, Shafa, duh. Anak orang masa gue mainin,” jawabku kesal.
“Ini nih yang gue heranin. Selera lo jadi berubah. Sekali lagi gue tanya, lo beneran sayang apa cuman penasaran aja sama tuh bocah sih?”
Kemudian aku terdiam. Ocehan Shafa tentang mantan-mantanku tak lagi aku dengarkan. Biar dia bermonolog dengan dirinya sendiri. Sedang aku di sampingnya disibukkan oleh Rangga. Benarkah aku hanya penasaran dengannya.
Pasalnya Rangga memang bukan anak organisasi yang namanya tersohor. Bukan anak musik yang digandrungi banyak cewek. Aku tidak paham bagaimana latar belakang keluarganya, tapi toh aku tidak pernah mempermasalahkan status sosial.
Sekarang mari berpikir ke belakang, apakah aku menyukai Rangga? Ya, aku suka. Malah aku yang lebih dulu menyatakan perasaanku padanya. Shafa belum tahu, kalau sampai tahu pasti dia histeris bukan main. Makanya informasi itu aku pendam dulu sampai ketidakterimaannya tentang hubunganku dengan Rangga mereda untuk beberapa saat.
Rangga itu berbeda, dalam artian; dia bukan seperti mereka yang pernah dekat denganku. Aku memang bukan gadis yang dominan cantik, kaya, dan bla, bla, bla seperti yang pernah tergambar di benak kalian. Aku sederhana, jauh dari kata sempurna. Aku hanya suka berorganisasi, kenal dengan banyak orang, hingga aku bisa dekat dengan manusia-manusia seperti Bima, Revano, dan Aldo.
Kembali ke Rangga. Dia pendiam, tapi pemikirannya luas. Dia tidak masuk organisasi di dalam kampus, tapi lebih masuk ke komunitas jalanan. Dia aktif dalam kegiatan bakti sosial. Itu bukan bualan belaka karena acara “keluar bareng” kita yang pertama kali adalah ketika dia sedang berkegiatan di panti asuhan.
Rangga itu manusia kutub. Yeah, semua cowok cool juga manusia kutub. Maksudnya terlihat dingin di awal, tapi kalau sudah didekati juga gampang mencair. Tapi Rangga berbeda. Dia hanya cair ketika dengan anak kecil di panti-panti yang kami kunjungi. Hal ini yang membuatku semakin penasaran, sampai aku pernah berpikir apakah Rangga ini pedophilia?
Aku menepis pikiran itu saat keramahan Rangga beralih ke nenek tua di panti jompo. Kemudian tatapan ibanya pada tukang becak di jalan membuatku merinding. Jiwa sosialnya benar-benar tinggi, dan itu yang membuatku kagum.
Lalu, apakah sampai di situ? Belum selesai.
Pernah suatu kali aku dan dia pulang dari acara bakti sosial komunitasnya –––karena penasaran dan tertular jiwa sosialnya, aku memutuskan untuk ikut dalam kegiatan itu juga, dan untuk pertama kalinya Rangga mengantarku pulang. Kalimat pertama yang dikatakan padaku bukan tawaran kapan ke panti lagi, atau sebut saja acara “jalan bareng” yang dipelesetkan sebagai kegiatan sosial.
Padahal saat itu aku cukup yakin dia sudah bisa menerima cewek asing sepertiku dalam hidupnya yang sebelumnya normal-normal saja.
“Maafin, aku, Tha,” itu kalimat pertamanya.
“Lho, maaf kenapa, Rang?”
“Karena aku, kamu jadi sering pulang malem. Cewek nggak baik pulang malem gini. Kalau sesekali, boleh lah. Kalau sering-sering ya jangan. Kasihan kamunya, nanti capek. Ya bukannya aku ngeremehin kamu, toh kamu anak organisasi yang sering punya acara sosial kayak gini. Tapi aku masih nggak enak kalau kamu terlalu aktif sampai pulang malem. Aku merasa bersalah.”
Katakanlah aku baper. Dari nada bicaranya dia sama sekali tidak menunjukkan perhatian, tapi raut wajahnya tidak bisa menyembunyikan itu. Bukan karena kejombloanku selama lima bulan terakhir yang membuatku seperti ini. Sudah kubilang, Rangga itu lugas. Seperti tidak ada hal ambigu dalam hidupnya selama ini.
“Ya kan aku niatnya bantuin kamu, Rang.”
“Bantu aku? Bantu anak-anak panti maksudnya, kan?” Aku hanya tersenyum kecil sebelum pamit masuk ke dalam rumah.
*
Setelah kejadian itu, sama sekali tidak ada perkembangan. Rangga memang baik kepada semua orang, tapi di sisi yang sama, aku juga mengharap kebaikan lebih darinya. Dia terbuka, baik dalam sikap mau pun pemikiran. Menyatakan apa yang seharusnya dia katakan tanpa sungkan. Sampai terkadang aku iri dengan mereka yang sering merebut perhatian Rangga dibandingkan dengan ak––– ya, aku tahu aku bukan siapa-siapanya saat itu.
Sampai suatu hari Rangga bisa benar-benar membuatku meleleh. Maksudku dari segi perkataannya padaku. Aku masih ingat kejadiannya. Dia tersenyum sepanjang hari dan di ujung hari itu, dia berterimakasih padaku.
“Kenapa sih, Rang, senyum-senyum dari tadi. Serem tau nggak?” aku yang salah tingkah saat itu karena diperhatikan Rangga akhirnya mengeluarkan pertanyaan. Tapi seorang Nitha pintar mengendalikan ekspresi, asal kalian tahu.
“Nggak apa-apa, seneng aja kamu bantuin acara baksos ini.”
“Lah, kemarin-kemarin aku nggak dianggep nih?”
“Bukan gitu. Kamu tuh penghibur, Tha –––buat aku pribadi sih. Sepanjang hari kamu nggak berhenti tersenyum. Ada saat di mana aku lihat kamu capek, tapi pas aku tanya kamu capek apa enggak, kamu langsung senyum dan bilang nggak ada kata capek, malahan semangat lagi buat ke panti yang lain. Menghibur banget lho keceriaan kamu.”
Kalian boleh mengataiku norak. Tidak masalah. Karena ucapan penghibur seperti ini sangat langkah jika kamu dihadapkan dengan manusia seperti Rangga. Dua bulan aku berusaha dekat dengannya, dan baru kali ini dia tersenyum lebar di hadapanku.
“Iya dong harus semangat,” kataku antusias. “Aku kan punya doping.”
“Lho, kamu pakai barang itu?”
“Ya enggak lah!” sergahku tidak terima.
“Doping kan nggak harus barang gitu.”
“Becanda. Aku tau kok maksud kamu,” katanya dengan cengiran menyebalkan.
Sejak itu, semakin mudah jalan untuk mendekatkan diriku ke Rangga. Semakin mudah membuatnya tersenyum, semakin mudah membuatnya dekat denganku. Tapi karena aku selalu dia buat gemas –––dalam hal apa pun, termasuk ketika bercanda––– jadi aku menyatakan perasaan lebih dulu. Karena aku menganggap, orang seperti Rangga jangan dilepas lama-lama. Bahaya.
Jadi... apa seleraku berubah? Tidak. Aku hanya menyukai cowok yang menerimaku apa adanya seperti dia. Tidak menuntut, tidak malu membawaku ke dunianya. Pada dasarnya, yang aku perlukan hanya rasa nyaman. Dan Rangga dapat menghadirkan suasana itu saat kita duduk bersama.
Mungkin menurut Shafa, seseorang seperti Rangga bukanlah tipikal pacar yang selama ini dia ekspetasikan untukku. Ya walau pun Shafa sendiri menilai dari mantan pacarku terdahulu. Tapi, aku tidak pernah berkata kalau Rangga bukan tipeku. Dia hanya berbeda, dan dia selalu punya cara hingga membuat ketertarikanku padanya selalu bertambah.
-FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar