Been
sitting eyes wide open behind these four walls,
Hoping
you’d call,
Jihan
terduduk di tepi ranjang. Matanya menyusuri ruangan yang mengurungnya selama
dua puluh empat tahun. Kamar yang menjadi dunianya selama ini. Kamar yang
selalu menjadi tujuannya mencapai rumah kembali ketika perjalanan panjang telah
menyita tenaganya selama ini. Hingga kenyamanan itu terusik oleh sosok Bram
yang muncul dalam pikirannya. Lagi-lagi pria itu. Pria yang membuat Jihan kalut
oleh kebingungan perasannya sendiri.
Pandangan
Jihan teralih pada ponselnya yang tertengger di atas nakas. Fisiknya menahan
diri untuk tak meraih ponsel itu. Sayangnya, hati Jihan meracau parah. Mulutnya ingin kembali bercengkrama dengan
Bram, telinganya masih sanggup mendengar cerita panjang Bram.
It’s
just a cruel existence,
Like
there’s no point hoping at all,
“Haruskah
aku segalau ini karena kamu, Bram?” Jihan mulai bermonolog di tempatnya. Dia menatap
ponselnya dengan mata sayu. Ditekuknya kedua kaki dan tangannya memeluk
sepasang kaki itu.
Nyatanya,
Bram memang candu baginya. Tak tahu sejak kapan rasa nyaman itu menelisik masuk
ke dalam lubuk hatinya. Membuat ia merasa nyaman tatkala mata Bram menatapnya. Ada
sepercik perasaan yang tak bisa dijelaskan, rasa yang belum pernah iarasakan
ketika bersama orang lain.
“Aku
cuman pengen denger suara kamu, Bram,” ucapnya pelan sebelum memutuskan untuk
terlelap dalam tidurnya kali ini.
*
Baby,
baby, I feel crazy, up all night, up all night and every day,
Give
me something, oh, but you say nothing,
Rindu
itu lebih menyiksa daripada patah hati. Kekecewaan dapat dialihkan oleh
kesibukan. Sedang rindu, kau harus berjuang agar bisa menekan perasaan itu
sendiri. Mengatakan pada dirimu bahwa berharap akan membuat rindu menyiksamu
semakin kejam.
“Kenapa
kamu nggak ngomong sama Bram kalo kamu kangen aja sih, Jihan? Repot kalau kamu
nungguin cowok keras kepala kayak dia.”
Jihan
hanya tersenyum. Jika saja menekan ketakutan bisa segampang teorinya, maka
Jihan tak akan menunggu lama untuk menghubungi Bram. Nyatanya gadis itu terlalu
merasa pengecut, ia selalu merasa bahwa mungkin saja Bram enggan dihubungi
olehnya lagi.
“Kalau
boleh berharap, aku pengen Bram yang
menghubungiku duluan. Tapi di sisi lain aku sadar, nggak ada hal yang perlu
dibahas. Jadi aku rasa, dengan Bram nggak menghubungiku duluan kayak sekarang,
bisa disimpulkan kalau hubungan kita udah berakhir. Dilihat dari segi mana pun,”
Jihan menghela napas pelan. Disesapnya kopi pahit itu.
*
I
don’t wanna live forever,
Cause
I know I’ll be living in pain,
Jemari
lentik Jihan mengaduk tehnya. Pandangannya menyapu jalanan yang diterpa hujan. Dari
dalam sudut cafe tempatnya meneduh, ia dapat melihat beberapa orang yang
berlarian untuk sekedar menyelamatkan diri dari tetesan hujan.
Hingga
matanya menangkap sosok Bram di depan jendela kaca di samping pintu masuk cafe.
Bersama seorang gadis berambut panjang yang tersenyum manis pada pria jakungnya. Dulu. Pahitnya kisah hidup Jihan
yang sekarang hanya karena perkara cemburu pada sosok di samping mantan
kekasihnya.
Jihan
menatap gelas tehnya. Ia berharap, sosok Bram di depan sana hanyalah
khayalannya semata karena rindunya pada pria itu sudah terlalu menggebu. Lalu ditolehkannya
lagi pandangannya ke depan pintu kembali. Di sana masih sama. Masih ada Bram
yang kini memeluk pundak gadis yang berhasil membuatnya cemburu.
*
“Jihan, apa yang
kamu ingikan di ulang tahunmu kali ini? Aku bakal menuruti semuanya.”
Senja saat itu
terlihat elok. Dua pasang mata menatapnya dengan hati bahagia. Gadis di samping
Bram tersenyum kecil sambil berpikir apa yang benar-benar diinginkannya kala itu.
Sesuatu yang sulit tak memberatkan Bram, namun masih bisa membuat pria muda itu
tertantang.
“Aku... pengen jadi cewek paling bahagia di dunia,” kata Jihan dengan antusiasnya. “Aku pengen bikin semua cewek yang ngeliat iri ke aku karena punya pacar sebaik kamu, Bram.”
Pria itu hanya termangu. Tak menyangka jika ucapan gadisnya akan semanis itu. Ia lantas menarik Jihan dalam pelukannya. Diucapkannya berkali-kali kata terimakasih karena sudah menjadi gadis yang selalu ada untuknya selama ini.
“Aku pengen hidup
selamanya dalam kisah kita, Han,” bisik Bram di sela pelukannya.
*
“Tapi
aku nggak pernah mau hidup selamanya, Bram,” lirih Jihan pada secangkir teh di
hadapannya. “Aku nggak bakal mau hidup dalam rasa sakit kayak gini. Aku cuman pengen bahagia bareng kamu.”
*
And
I don’t wanna fit wherever,
I
just wanna keep calling your name,
Until
you come back home,
Malam
melahap senja dalam hitungan menit. Menghadirkan angin liar yang dengan cepat
membalut dingin. Membuat penikmat jalan semakin bergidik karenanya. Termasuk Jihan
yang mengumpat dalam hati karena mobilnya harus berada di bengkel dan
mengharuskannya menikmati transpotasi umum malam itu.
“Nggak
bawa jaket, Han?”
Kepala
Jihan menoleh ke samping kanannya. Tubuhnya mendadak kaku melihat sosok Bram
berdiri sambil tersenyum padanya. Senyuman penuh ketulusan. Bukan sepertinya
yang hanya diam mematung, Bram di hadapannya itu terlihat bahagia.
Apa
luka itu tidak pernah hadir dalam hidupnya hingga masih terpapar wajah bahagia
itu hingga hari ini? Ataukah hanya Jihan seorang yang dilanda sakit hati? Bagaimana
dengan pria itu?
“Jihan,”
Bram melambaikan tangannya di depan wajah gadis itu.
“Eh,
iya?”
“Kamu
bawa jaket nggak? Kemeja pendek kamu bisa bikin kamu masuk angin nanti.”
Dalam
lubuk hatinya yang terdalam, Jihan memohon pada Tuhan agar tak terlalu
melambung karena ucapan Bram. Logikanya percaya jika Bram hanya sekedar
mengingatkannya. Bukannya perhatian padanya seperti dulu kala.
“Pakai
punyaku aja deh ya,” Bram melepas jaketnya sebelum Jihan sempat menolak.
Jangankan
menolak kebaikan Bram. Untuk menyapa kembali sosok Bram di hadapannya lidahnya
terasa kelu bukan main. Antara rasa bahagia, merasa takut, dan bersalah secara
bersamaan. Tapi tetap saja, Bram tetap menjadi candu bagi Jihan. Matanya yang
meneduhkan membuat degupan di jantung Jihan kembali melonjak hebat.
“Wanita
karir kayak kamu pantang buat sakit, Han. Pasti repot kalau kamu nggak bekerja
sehari aja, iya kan?” Bram terus mengoceh saat mereka berdiri berdampingan di
dalam busway.
Kediaman itu kini menguasai mereka. Jihan bersikap kikuk, tak tahu harus bagaimana. Sedang Bram hanya diam, tidak mencoba membuka perbincangan kembali. Hingga gerombolan lain memenuhi busway. Membuat mereka mau tak mau saling berhimpitan satu sama lain.
Busway
berhenti sejenak. Membuat penumpangnya sedikit terhuyung maju. Begitu pun Jihan
yang kini dalam rengkuhan Bram. Mereka terdiam sepersekian detik sebelum
akhirnya saling tersadar dan saling menjauhkan diri.
Hujan
kembali mengguyur Jakarta. Membiarkan penikmat jalan semakin merasa jengkel
karena dingin semakin menusuk tulang. Dan di antara orang-orang yang sedang
mengumpat dalam hatinya, Jihan sedang memperhatikan Bram dalam diam.
Bisakah aku selalu
sakit dan dipertemukan denganmu dalam keadaan ini, Bram? Aku rindu bagaimana
kamu memperlakukanku seperti ini,
rintih Jihan dalam hati.
*
Wondering if I dodged a bullet,
Or
just lost the love of my life,
Jihan
dan Bram turun di tempat yang sama. Dan di saat Jihan berhenti untuk menepi dan
meneduh, pria itu masih di sana. Berdiri di sampingnya dengan senyuman kecil. Jihan
menghembuskan napas pelan. Dilepasnya jaket Bram dan diberikan pada sang
pemilik.
“Makasih
Bram,” katanya pelan. Bram menerima jaketnya kembali tanpa berkomentar apa pun
walau wajahnya menunjukkan kebingungan. “Makasih juga udah nyapa aku lagi.
Mungkin kalau kamu nggak nyapa aku lagi, aku nggak bakalan bisa nyapa kamu
duluan. Kamu tau kan aku terlalu pengecut untuk sekedar berhadapan sama kamu.”
“Jihan...”
“Aku berharap kamu nggak bosan nyapa aku ya,
Bram. Semoga aku bisa seberani kamu nantinya untuk nyapa kamu lebih dulu,”
ucap Jihan. Tulus. “Aku pergi duluan.”
Dan
kepergian Jihan yang berjalan memunggungi Bram menghadirkan rasa kelegaan di
relung hatinya. Ia lega bisa menatap Bram sedekat itu, mendengar suara paling
merdu, dan menatap mata sayu yang menyejukkan hatinya.
Harapan
itu masih ada; tentang cerita mereka untuk selalu bersama. Tersimpan rapi di
dalam hati Jihan, tanpa pernah terungkap ke permukaan. Ia rasakan sendiri. Merintih
karenanya sendiri, namun belajar untuk bangkit dengan caranya sendiri juga.
-FIN
Story based from song by Zayn Malik ft Tylor Swift
Tidak ada komentar:
Posting Komentar