Kadang
menyimpulan perilaku orang di saat pertama kali bertemu itu gampang-gampang
susah. Itu terbukti ketika aku menilai orang. Kadang tebakanku benar, kadang
juga salah. Dan ternyata ha itu terjadi pada orang lain juga. Teman dekatku
kerap salah sangka tentang sifatku yang sebenarnya.
Mereka bilang aku
ini jahat.
Pertama
kali melihatku, kebanyakan mereka berkata seperti itu. Tatapanku yang cenderung
biasa dan wajahku yang terkesan tak ramah membuat mereka enggan mengajakku
berbicara. Hingga pada saat kami benar-benar dekat, mereka selalu berkata, “lo
itu orangnya supel deh, asli. Gue kira selama ini lo tuh judes, jahat, kayak
nenek tiri.”
Nah
loh, nenek tiri itu seperti apa?
Mereka bilang aku
ini pendiam.
Aku
hampir tertawa saat mereka mengatakan itu. Lagi-lagi kesan pertama. Ya memang,
kalau tidak ada hal yang dibicarakan aku cenderung diam. Jarang sekali aku
diam, pasti ada hal yang aku bahas dengan orang lain. Jadi bisa dikatakan aku
ini cerewet. Sangat cerewet.
Mereka bilang aku
suka membicarakan orang lain.
Kalau
soal ini aku tidak terlalu menyangkal. Baiklah, jahat memang kalau membicarakan
orang, entah soal kebaikan atau soal kebaikannya. Tapi seperti yang aku katakan
di atas, aku ini suka bicara dengan banyak orang, saling bertukar pikiran, dan
aku tak segan mendengarkan cerita orang lain. Tentu bukan karena aku bisa
menyebarkannya. Melainkan untuk meminta pendapat dengan orang lain. Contohnya
begini;
“Katanya,
harga jengkol naik ya?” tanyaku pada seorang teman.
“Ah,
masa iya?” tanyanya kembali padaku.
“Si
Candra bilang gitu kemarin. Nggak tau bener apa enggak.”
“Lo
sih percaya sama cerita. Buktiin sendiri dong.”
“Ya
kan gue cuman dikasih tau.”
Seperti
itu. Kadang aku menjadikan apa yang aku bahas dengan orang lain sebagai topik
pembicaraan dengan teman. Jadi bagaimana bisa aku tidak mengatakan; “Loh, aku
tau dari temanku sih begitu. Dia kan...”
Ya,
ya, baiklah jika memang aku suka menyangkutkan nama orang di dalam
pembicaraanku, tapi sama sekali aku tak berniat membicarakan dia di belakangku.
Mereka bilang aku
pandai.
Kalau
soal ini, aku bukannya senang, tapi malu. Bukan hanya cerewet, aku ini suka
menulis cerita, membaca buku, dan melihat film-film bahkan serial drama. Karena
aku juga seorang pendengar –––lepas dari pendengar yang baik atau tidak––– jadi
aku juga suka mendengar cerita kehidupan orang dan menanggapi masalah mereka.
Di
sinilah kesalahpahamannya. Hanya karena aku suka memberi nasihat atas apa yang
mereka permasalahkan, lantas aku ini dianggap pandai. Itu tidak benar. Aku
tidak merasa sepandai itu. Toh aku mengerti harus bagaimana menjalani hidup ini
dari mendengarkan cerita orang tua, dari buku bacaan, bahkan dari drama.
Kadang
aku menertawai diriku sendiri. Di saat menghadapi masalah orang lain, aku bisa
mmeberi mereka petuah, lalu apa kabar dengan masalahku? Entahlah. Aku masih
bingung. Pandai menurutku adalah mereka yang antara ucapan dan tindakannya
seimbang. Malah kalau bisa tindakannya lebih besar dibanding omongannya.
Jadi
sebanyak apa pun aku ada untuk mereka, memberi mereka pencerahan, aku rasa aku
tak sepandai itu. Aku mungkin bisa menyimpulkan masalah, lalu berpikir cara
penyelesaiaannya. Namun hal itu bukan benar-benar kepandaian jika tidak dapat diterapkan
langsung bukan?
Pandai...
berlebihan untukku.
Mereka bilang aku
baik.
Kemarin
aku sempat membaca cerita seorang teman di dunia maya, tentang dua sisi koin
manusia dalam hidupnya. Kita punya sifat baik dan buruk –––salah satu keadilan
yang Tuhan berikan kepada para hamba-Nya. Kalau mereka bilang aku baik, belum
tentu selamanya aku baik. Untuk catatan, aku hanya baik kepada mereka yang mau
menghargaiku. Aku baik pada mereka yang berpikiran luas dan menghargai orang
lain. Pada mereka yang bisa menerima kritik namun juga bisa menjadi orang yang
mengkritisiku balik sekalian memberi nasihatnya.
Pemilih?
Ya, aku pemilih. Aku tidak sebaik itu. Kalau tulisan ini mengungkap sisi
burukku, aku akui memang secara tak langsung aku begitu. Ada sebuah hadist
mengatakan; sembunyikan kelebihanmu seperti kau menyembunyikan kekuranganmu.
Lalu untuk apa aku malu pada keburukanku? Toh bagi mereka yang mengerti aku ini
buruk, masih tetap bertahan di sekelilingku sampai sekarang. Itu yang aku sebut
teman selama ini; saling menerima.
Kebaikan itu nilai tambah. Yang terpenting bagiku adalah memperbaiki keburukan
dan menggantinya dengan sikap yang lebih baik.
-FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar