Menjadi
miskin bukanlah kesalahan. Yang salah adalah ketika keadaanmu tidak lebih baik
dari orang lain dalam hal materi, dan kau terus menyalahkan keadaan alih-alih
mengubah nasibmu agar lebih baik di kemudian hari. Setidaknya itu yang
dikatakan kakakku sebelum beliau meninggal. Pesannya hanya tertuju padaku. Dia antara
semua cucunya, dia sangat menyayangiku. Aku sadar itu. Semua orang juga
merasakan hal yang sama.
Mereka
memanggilku Josephine. Para penduduk Vellicks mengenal keluargaku. Setidaknya pada
beberapa tahun sebelum kakekku meninggal, keluarga kami sempat berjaya. Hingga bisnis
keluarga kami perlahan mundur ketika kakek tiada. Bukan perkara ada atau
tidaknya kakek sebenarnya. Namun karena keluarga sedang berselisih soal materi.
Mereka membawa harta benda yang bisa dibawa dan memperkaya diri sendiri. Termasuk
Ibuku, tapi tidak Ayahku.
“Kalau
kita tidak meneruskan bisnis keluarga, bagaimana kita bisa hidup esok hari?”
Ibuku berteriak di dapur saat Ayahku mengerutkan kening ketika membaca buku
catatannya. Saat kuintip, hanya deretan angka yang tertera di sana. Membuatku pusing
sendiri.
“Santailah
sedikit, Tania. Kau bisa memecahkan piring-piring itu kalau terus berteriak
sejak pagi. Apa kau mau kulitmu semakin keriput? Marah-marah akan membuatmu
terlihat seperti Bibi Diana,” ujar Ayahku dengan nada enteng. Bibi Diana adalah
orang paling cerewet di keluarga kami. And well,
yeah, dia terlihat tua jauh dari usianya.
Aku
tersenyum karenanya. Ayah sangat mirip dengan kakek. Sangat bijaksana dan
dermawan, tidak keras kepala dan penuh dengan kecerdasan. Berkebalikan dengan
Ibu yang gampang panik akan suatu hal. Kegelisahan Ibu tak lantas membuat orang
di sekitarnya tenang, lebih-lebih ikut panik juga.
“Hey,
Ricardo!” Ibu muncul dengan spatula di tangannya. “Kau punya anak gadis. Kalau misalnya
dia mendapatkan pria yang miskin bagaimana? Apa kau senang jika dia mendapatkan
kehidupan yang sama menderitanya dengan kita? Mana ada orang di Vellicks yang
menikahkan anaknya dengan orang yang lebih miskin dari mereka?”
“Apa
kau menderita selama ini?” Ayahku menengadah. Kali ini pandangannya serius. Ibuku
langsung diam dan memandang Ayahku dengan sedikit rasa bersalah. Pertanyaan Ayah
sama sekali tidak bisa dijawab oleh Ibu.
“Aku
minta maaf jika aku memang tidak bisa membuatmu bahagia selama ini,” ujar
Ayahku sembari menutup bukunya setelah melipat ujung halaman buku itu. “Tapi
aku ingin mengingatkanmu, kalau hidup itu tidak selamanya di atas, Sayang. Ada masanya
kita harus menderita agar kita tahu darimana asal kita. Well, yeah, aku harap kau dapat mengubah pandanganmu tentang kebahagiaan.”
“Sayang,
aku hanya ingin anak kita mendapatkan kehidupan yang bagus. Setidaknya lebih
baik dari yang pernah kita alami,” Ibuku melunak. Kini Ibu duduk di samping
Ayah. Sedang aku hanya diam melihat dialog mereka. Sebenarnya mereka sangat
manis bagiku.
Ayah
memandangku sejenak sebelum berkata pelan. “Aku senang anakku bisa merasakan
susahnya hidup ini, Tania. Paling tidak, terlihat apa adanya, nyata, lebih baik
daripada kelihatan bagus. Dia tak pernah malu pada keadaan kita.”
*
Kata-kata
Ayah yang menguatkanku sampai saat ini. Bahagia tak harus dengan materi. Uang bisa
membeli segala hal, tapi uang tidak bisa membeli perasaan bahagia atau bahkan
rasa sakit. Sama halnya dengan saat kau bisa membeli jam namun tak bisa membeli
waktu. Maka di masa yang sulit itu, Ayah mengajariku banyak hal. Hingga aku
bisa menjadi seperti sekarang.
Mungkin
aku bodoh, mungkin aku tak berpendidikan tinggi, tapi aku dikelilingi orang
yang aku percayai untuk menjalankan bisnis keluarga kami kembali. Seseorang pernah
berkata, bahwa kesuksesan bukan hanya ketika seseorang memiliki IQ yang tinggi.
Tetapi juga harus memiliki kontrol emosional yang baik.
Prinsipku
tetap sama; terlihat apa adanya, nyata, lebih baik daripada kelihatan bagus. Karena
kebahagaiaan yang hakiki lebih baik dibanding hanya terlihat bahagia.
-FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar