Selasa, 24 Januari 2017

The Truth | #10DaysKF

Menjadi miskin bukanlah kesalahan. Yang salah adalah ketika keadaanmu tidak lebih baik dari orang lain dalam hal materi, dan kau terus menyalahkan keadaan alih-alih mengubah nasibmu agar lebih baik di kemudian hari. Setidaknya itu yang dikatakan kakakku sebelum beliau meninggal. Pesannya hanya tertuju padaku. Dia antara semua cucunya, dia sangat menyayangiku. Aku sadar itu. Semua orang juga merasakan hal yang sama.


Mereka memanggilku Josephine. Para penduduk Vellicks mengenal keluargaku. Setidaknya pada beberapa tahun sebelum kakekku meninggal, keluarga kami sempat berjaya. Hingga bisnis keluarga kami perlahan mundur ketika kakek tiada. Bukan perkara ada atau tidaknya kakek sebenarnya. Namun karena keluarga sedang berselisih soal materi. Mereka membawa harta benda yang bisa dibawa dan memperkaya diri sendiri. Termasuk Ibuku, tapi tidak Ayahku. 


“Kalau kita tidak meneruskan bisnis keluarga, bagaimana kita bisa hidup esok hari?” Ibuku berteriak di dapur saat Ayahku mengerutkan kening ketika membaca buku catatannya. Saat kuintip, hanya deretan angka yang tertera di sana. Membuatku pusing sendiri.


“Santailah sedikit, Tania. Kau bisa memecahkan piring-piring itu kalau terus berteriak sejak pagi. Apa kau mau kulitmu semakin keriput? Marah-marah akan membuatmu terlihat seperti Bibi Diana,” ujar Ayahku dengan nada enteng. Bibi Diana adalah orang paling cerewet di keluarga kami. And well, yeah, dia terlihat tua jauh dari usianya. 


Aku tersenyum karenanya. Ayah sangat mirip dengan kakek. Sangat bijaksana dan dermawan, tidak keras kepala dan penuh dengan kecerdasan. Berkebalikan dengan Ibu yang gampang panik akan suatu hal. Kegelisahan Ibu tak lantas membuat orang di sekitarnya tenang, lebih-lebih ikut panik juga.


“Hey, Ricardo!” Ibu muncul dengan spatula di tangannya. “Kau punya anak gadis. Kalau misalnya dia mendapatkan pria yang miskin bagaimana? Apa kau senang jika dia mendapatkan kehidupan yang sama menderitanya dengan kita? Mana ada orang di Vellicks yang menikahkan anaknya dengan orang yang lebih miskin dari mereka?” 


“Apa kau menderita selama ini?” Ayahku menengadah. Kali ini pandangannya serius. Ibuku langsung diam dan memandang Ayahku dengan sedikit rasa bersalah. Pertanyaan Ayah sama sekali tidak bisa dijawab oleh Ibu.


“Aku minta maaf jika aku memang tidak bisa membuatmu bahagia selama ini,” ujar Ayahku sembari menutup bukunya setelah melipat ujung halaman buku itu. “Tapi aku ingin mengingatkanmu, kalau hidup itu tidak selamanya di atas, Sayang. Ada masanya kita harus menderita agar kita tahu darimana asal kita. Well, yeah, aku harap kau dapat mengubah pandanganmu tentang kebahagiaan.” 


“Sayang, aku hanya ingin anak kita mendapatkan kehidupan yang bagus. Setidaknya lebih baik dari yang pernah kita alami,” Ibuku melunak. Kini Ibu duduk di samping Ayah. Sedang aku hanya diam melihat dialog mereka. Sebenarnya mereka sangat manis bagiku.


Ayah memandangku sejenak sebelum berkata pelan. “Aku senang anakku bisa merasakan susahnya hidup ini, Tania. Paling tidak, terlihat apa adanya, nyata, lebih baik daripada kelihatan bagus. Dia tak pernah malu pada keadaan kita.” 


*


Kata-kata Ayah yang menguatkanku sampai saat ini. Bahagia tak harus dengan materi. Uang bisa membeli segala hal, tapi uang tidak bisa membeli perasaan bahagia atau bahkan rasa sakit. Sama halnya dengan saat kau bisa membeli jam namun tak bisa membeli waktu. Maka di masa yang sulit itu, Ayah mengajariku banyak hal. Hingga aku bisa menjadi seperti sekarang. 


Mungkin aku bodoh, mungkin aku tak berpendidikan tinggi, tapi aku dikelilingi orang yang aku percayai untuk menjalankan bisnis keluarga kami kembali. Seseorang pernah berkata, bahwa kesuksesan bukan hanya ketika seseorang memiliki IQ yang tinggi. Tetapi juga harus memiliki kontrol emosional yang baik.


Prinsipku tetap sama; terlihat apa adanya, nyata, lebih baik daripada kelihatan bagus. Karena kebahagaiaan yang hakiki lebih baik dibanding hanya terlihat bahagia. 


-FIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar