Minggu, 22 Januari 2017

DIA | #10DaysKF

Aku membencinya.


Walau semua orang menyambut kedatangannya selama ini, tapi aku tidak. Bagitu tetap saja, dia adalah seseorang yang hanya merusak suasana. Kalau tidak merusak suasana, apa namanya? Datang dalam kehidupan orang seenaknya saja. 


*


Berawal dari musim panas tahun lalu di Manhattan, dia datang dalam hidupku. Mereka menyebutnya orang cerdas dan tangkas, aku mengatainya hanya mencari muka. Sikapnya baik pada semua orang, tapi aku tak akan pernah tertipu muslihatnya. Suatu hari nanti aku akan membuktikan kalau dia tidak setulus yang mereka pikir. 


Seperti kejadian pada musim itu. Semua orang repot karena May Day. Ayahku menyiapkan segala hal, dan tentu saja dengan wajah sumringah dia tetap di belakang Ayah sepanjang hari.


“Anna, kau tidak mengambil anggur di kebun?” untuk pertama kalinya aku tidak bisa menghindar darinya karena Ayah menyuruhku pergi bersamanya untuk memasukkan kuda-kuda kami ke dalam peternakan. 


“Aku akan ke sana sendiri,” kataku kemudian. Mencoba mengacuhkannya.


“Bolehkah aku membantumu. Aku tidak ingin kau kesulitan. Pekerjaan kita banyak untuk menyambut May Day, Anna.” 


Tidak banyak bicara, setelah aku memasukkan Diana –––kuda poni kesayanganku––– ke dalam kandang aku langsung berjalan ke kebun. Senja memancar di ufuk barat. Anggur yang telah dipetik biasanya sudah diproses di gudang. Kakiku melangkah menuju gudang. Dan sesuai dugaanku, dia tetap mengikutiku di belakang.


Sepanjang perjalanan ke gudang, aku mengumpat dalam hati. Kenapa jalanan yang sudah aku lalui selama delapan belas tahun ini terasa lebih panjang dari sebelumnya. Seolah membiarkan aku bersamanya. 


“Anna!” Paman Sam menyambutku di gudang.

Kusunggingkan senyum kecilku pada pria tua itu. Beliau menunjukkanku beberapa anggur yang telah diolah. Baik anggur putih maupun anggur merah. Dia mendekat padaku dan Paman Sam. Pada dasarnya semua orang acuh tak acuh padanya. Selama dia tak merepotkan, maka dia tetap diterima. Tapi tidak bagitu, dia tetap sama saja.


“Mr. Santiago,” katanya pada Paman Sam. “Jhon menyuruhku untuk belajar padamu bagaimana mengolah anggur-anggur ini. Apa sekarang waktu yang tepat untuk belajar?” 


Nah! Bukankah dia pandai mencari muka? Mau tak mau Paman Sam membantunya. Paman tetap bersahaja, mengajarkan dengan tekun dan tersenyum sepanjang hari. Jangan harap aku merakukan hal itu untuknya. Sekedar menyapanya kembali saja aku tidak mau –––kalau mau pun karena terpaksa, dan dipaksa oleh orang seperti Ayahku.


* 


Lagi-lagi pikiranku melesat jauh, sebenarnya apa yang Ayah harapkan dari orang sepertinya? Apa Ayah tidak menyadari betapa bencinya aku terhadap dia? Ketidakterimaanku akan keputusan Ayah tetap tidak mengubah apa pun.


Sampai suatu ketika aku benar-benar harus membuka mata dan hatiku. Semua rasa benci harus aku tepis karena hanya dia satu-satunya orang yang peduli padaku. 


Semua berawal dari bisnis anggur Ayah yang mulai bangkrut. Tidak ada satu pun orang yang mau membantu Ayah karena mereka merasa bahwa Ayah tidak lagi bisa diajak kerja sama. Keadaan ekonomi keluarga semakin memburuk, membuat Ayah mengidap penyakit serangan jantung.


Kebingungan melandaku. Bahkan Paman Sam pun melarikan diri bersama beberapa orang-orang yang Ayah percaya selama ini. Entah kemana, aku tak lagi peduli. Kesehatan Ayahku adalah prioritas. Hanya Ayah yang aku miliki –––walau Ayah juga memiliki dia di kehidupannya. Aku memutar otak bagaimana caranya agar Ayah bisa hidup dan kami tetap bisa makan untuk esok hari. 


Dia yang melakukannya.


Dia yang mengurus segala masalah dan juga bisnis yang semakin memburuk. Dia menjual segala harta yang dimilikinya tanpa menyentuh sepeserpun uang yang Ayah berikan padanya. Aku tahu itu karena kami tinggal di dalam rumah yang sama. Dia menitipkan Ayah padaku, sedangkan dia mengurus kebun itu sendiri bersama saudaranya. Aku dengar, dia diusir dari rumahnya karena orangtuanya tidak terima dia menjual segala hal hanya demi Ayah. Tidak, aku salah. Dia berjuang demi keluarga kami. 


Perjuangannya sangat hebat. Aku yang membencinya selama ini mengaku kalah pada keegoisanku sendiri. Ada benarnya Ayah menyuruhnya untuk membaur dengan pegawai Ayah dan belajar banyak hal, karena jika datang masa ini, dia benar-benar dapat diandalkan.


Hingga Ayah sembuh, dia masih mengurusi kebun kami. Kebun anggur dan peternakan itu pulih kembali walau tidak sebesar dulu. Aku menyadari jika rasa sayangnya terhadap keluarga ini lebih dari sekedar kata biasa. Banyak orang sepertinya yang melarikan diri jika suaminya tertimpa masalah. 


Tapi dia tetap di samping Ayah. Dia tetap di sana, memandang Ayah dari jauh sambil tak henti mendoakan untuk kesehatannya. 


“Lucy, um...” aku menyapanya yang sedang menghitung pemasukan bulan itu. Ayah masih di rumah sakit untuk masa pemulihan.


“Oh, Anna. Apa kau ingin bicara denganku?” dia menutup bukunya. Sedang aku memandang wajahnya yang semakin menua. Dulu dia sangat cantik, aku akui. Dia terlihat seperti kakakku sendiri jika saja dia bukanlah istri muda Ayahku. 


Well, I just wanna say... thank you,” lirihku. Saat aku mengucapkan terimakasih, mataku tak sanggup memandangnya. Seolah dia akan menelanku. Aku hanya takut.


“Kau tidak perlu mengatakannya, Sayang. Aku mungkin bukan Ibumu, atau seseorang yang dapat membuatmu bangga jika kau memilikiku di sampingmu. Tapi sekeras apa pun kau mencoba mendorongku, semakin kuat juga aku berjuang untuk ada di sekitarmu. Karena aku memang selalu ada untukmu dan Jhon.” 


Kepalaku masih tertunduk. Kumainkan tanganku karena aku tak tahu harus menjawab apa. Lucy sangat pandai mencairkan suasana. Dia tak pernah memulai pertengkaran denganku. Ah, aku bahkan tak ingat apakah kami pernah bertengkar. Aku hanya mengabaikannya, tidak menanggapi ucapannya, dan melarikan diri dari hadapannya. Aku tidak benar-benar terlibat dalam sebuah pertengkaran dengannya selama ini.


“Kemarilah,” dia menarik tanganku dan memelukku. Dalam dekapan itu, aku menangis tanpa suara. Hanya isakan kecil yang tertangkap indra pendengaranku sendiri. 


“Maafkan aku, Lucy. Maaf.”


“Jangan pernah meminta maaf, Anna. Aku tahu kau sulit menerimaku. Mungkin jika aku dalam posisimu, aku juga tidak akan menerima seorang ibu tiri tak dikenal sepertiku masuk dalam kehidupanku yang telah damai. Bukan begitu?” Lucy menarikku dari pelukannya dan menatapku dengan senyuman yang memancarkan kehangatan. 


“Tetap saja aku salah, Lucy.”


“Kalau begitu lupakan saja masa lalu,” katanya sambil mengedikkan bahu. “Tidak masalah jika kau tidak bisa memanggilku Mama, aku tidak pernah menuntut itu juga. Setidaknya cukup kau menganggapku ada. Dan jangan mengabaikanku lagi. Karena aku sangat menyukai saat-saat ketika aku berbicara denganmu seperti ini, Anna.” 


Aku tersenyum kecil. Kupeluk Lucy sekali lagi. Kutumpahkan segala tangis yang tertahan selama ini. Sesak di dada perlahan menguap. Sejauh apa pun aku lari dari sebuah masalah, ujung dari perjalanan itu adalah pulang ke rumah. Lucy kini bisa menjadi rumah untukku. Tempatku bernaung.


Aku membencinya. Tapi itu dulu. Karena aku benci perubahan, maka hadirnya Lucy dalam kehidupanku dan Ayahku membuatku tidak menyukainya. Aku selalu berpikir kalau Lucy merebut kasih sayang Ayah dariku dan Mama di surga. Dengan adanya Lucy, maka perasaan Ayah terhadap Mama sudah musnah, bukankah begitu? 


Namun seperti yang Lucy sendiri katakan; dia berbeda. Dia bukan sosok ibuku secara lahiriyah, dia hanya orang lain yang sekarang akan memiliki posisi berbeda di hatiku. Ketulusannya nyata, dan hal itu yang membuatku perlahan membuka hati padanya.


Pada perempuan itu, aku amat sangat berterima kasih. Dan dia adalah Lucy.





-FIN




Tidak ada komentar:

Posting Komentar