Aku
membencinya.
Walau
semua orang menyambut kedatangannya selama ini, tapi aku tidak. Bagitu tetap
saja, dia adalah seseorang yang hanya
merusak suasana. Kalau tidak merusak suasana, apa namanya? Datang dalam
kehidupan orang seenaknya saja.
*
Berawal
dari musim panas tahun lalu di Manhattan, dia datang dalam hidupku. Mereka
menyebutnya orang cerdas dan tangkas, aku mengatainya hanya mencari muka.
Sikapnya baik pada semua orang, tapi aku tak akan pernah tertipu muslihatnya.
Suatu hari nanti aku akan membuktikan kalau dia tidak setulus yang mereka
pikir.
Seperti
kejadian pada musim itu. Semua orang repot karena May Day. Ayahku menyiapkan
segala hal, dan tentu saja dengan wajah sumringah dia tetap di belakang Ayah
sepanjang hari.
“Anna,
kau tidak mengambil anggur di kebun?” untuk pertama kalinya aku tidak bisa
menghindar darinya karena Ayah menyuruhku pergi bersamanya untuk memasukkan
kuda-kuda kami ke dalam peternakan.
“Aku
akan ke sana sendiri,” kataku kemudian. Mencoba mengacuhkannya.
“Bolehkah
aku membantumu. Aku tidak ingin kau kesulitan. Pekerjaan kita banyak untuk
menyambut May Day, Anna.”
Tidak
banyak bicara, setelah aku memasukkan Diana –––kuda poni kesayanganku––– ke
dalam kandang aku langsung berjalan ke kebun. Senja memancar di ufuk barat. Anggur
yang telah dipetik biasanya sudah diproses di gudang. Kakiku melangkah menuju
gudang. Dan sesuai dugaanku, dia tetap mengikutiku di belakang.
Sepanjang
perjalanan ke gudang, aku mengumpat dalam hati. Kenapa jalanan yang sudah aku
lalui selama delapan belas tahun ini terasa lebih panjang dari sebelumnya.
Seolah membiarkan aku bersamanya.
“Anna!”
Paman Sam menyambutku di gudang.
Kusunggingkan
senyum kecilku pada pria tua itu. Beliau menunjukkanku beberapa anggur yang
telah diolah. Baik anggur putih maupun anggur merah. Dia mendekat padaku dan
Paman Sam. Pada dasarnya semua orang acuh tak acuh padanya. Selama dia tak
merepotkan, maka dia tetap diterima. Tapi tidak bagitu, dia tetap sama saja.
“Mr.
Santiago,” katanya pada Paman Sam. “Jhon menyuruhku untuk belajar padamu
bagaimana mengolah anggur-anggur ini. Apa sekarang waktu yang tepat untuk
belajar?”
Nah!
Bukankah dia pandai mencari muka? Mau tak mau Paman Sam membantunya. Paman
tetap bersahaja, mengajarkan dengan tekun dan tersenyum sepanjang hari. Jangan
harap aku merakukan hal itu untuknya. Sekedar menyapanya kembali saja aku tidak
mau –––kalau mau pun karena terpaksa, dan dipaksa oleh orang seperti Ayahku.
*
Lagi-lagi
pikiranku melesat jauh, sebenarnya apa yang Ayah harapkan dari orang
sepertinya? Apa Ayah tidak menyadari betapa bencinya aku terhadap dia? Ketidakterimaanku akan keputusan
Ayah tetap tidak mengubah apa pun.
Sampai
suatu ketika aku benar-benar harus membuka mata dan hatiku. Semua rasa benci
harus aku tepis karena hanya dia satu-satunya orang yang peduli padaku.
Semua
berawal dari bisnis anggur Ayah yang mulai bangkrut. Tidak ada satu pun orang
yang mau membantu Ayah karena mereka merasa bahwa Ayah tidak lagi bisa diajak
kerja sama. Keadaan ekonomi keluarga semakin memburuk, membuat Ayah mengidap
penyakit serangan jantung.
Kebingungan
melandaku. Bahkan Paman Sam pun melarikan diri bersama beberapa orang-orang
yang Ayah percaya selama ini. Entah kemana, aku tak lagi peduli. Kesehatan
Ayahku adalah prioritas. Hanya Ayah yang aku miliki –––walau Ayah juga memiliki
dia di kehidupannya. Aku memutar otak
bagaimana caranya agar Ayah bisa hidup dan kami tetap bisa makan untuk esok
hari.
Dia yang melakukannya.
Dia
yang mengurus segala masalah dan juga bisnis yang semakin memburuk. Dia menjual
segala harta yang dimilikinya tanpa menyentuh sepeserpun uang yang Ayah berikan
padanya. Aku tahu itu karena kami tinggal di dalam rumah yang sama. Dia
menitipkan Ayah padaku, sedangkan dia mengurus kebun itu sendiri bersama
saudaranya. Aku dengar, dia diusir dari rumahnya karena orangtuanya tidak
terima dia menjual segala hal hanya demi Ayah. Tidak, aku salah. Dia berjuang
demi keluarga kami.
Perjuangannya
sangat hebat. Aku yang membencinya selama ini mengaku kalah pada keegoisanku
sendiri. Ada benarnya Ayah menyuruhnya untuk membaur dengan pegawai Ayah dan
belajar banyak hal, karena jika datang masa ini, dia benar-benar dapat
diandalkan.
Hingga
Ayah sembuh, dia masih mengurusi kebun kami. Kebun anggur dan peternakan itu
pulih kembali walau tidak sebesar dulu. Aku menyadari jika rasa sayangnya
terhadap keluarga ini lebih dari sekedar kata biasa. Banyak orang sepertinya
yang melarikan diri jika suaminya tertimpa masalah.
Tapi dia tetap di samping
Ayah. Dia tetap di sana, memandang Ayah dari jauh sambil tak henti mendoakan
untuk kesehatannya.
“Lucy,
um...” aku menyapanya yang sedang menghitung pemasukan bulan itu. Ayah masih di
rumah sakit untuk masa pemulihan.
“Oh,
Anna. Apa kau ingin bicara denganku?” dia menutup bukunya. Sedang aku memandang
wajahnya yang semakin menua. Dulu dia sangat cantik, aku akui. Dia terlihat
seperti kakakku sendiri jika saja dia bukanlah istri muda Ayahku.
“Well, I just wanna say... thank you,”
lirihku. Saat aku mengucapkan terimakasih, mataku tak sanggup memandangnya.
Seolah dia akan menelanku. Aku hanya takut.
“Kau
tidak perlu mengatakannya, Sayang. Aku mungkin bukan Ibumu, atau seseorang yang
dapat membuatmu bangga jika kau memilikiku di sampingmu. Tapi sekeras apa pun
kau mencoba mendorongku, semakin kuat juga aku berjuang untuk ada di sekitarmu.
Karena aku memang selalu ada untukmu dan Jhon.”
Kepalaku
masih tertunduk. Kumainkan tanganku karena aku tak tahu harus menjawab apa.
Lucy sangat pandai mencairkan suasana. Dia tak pernah memulai pertengkaran
denganku. Ah, aku bahkan tak ingat apakah kami pernah bertengkar. Aku hanya
mengabaikannya, tidak menanggapi ucapannya, dan melarikan diri dari hadapannya.
Aku tidak benar-benar terlibat dalam sebuah pertengkaran dengannya selama ini.
“Kemarilah,”
dia menarik tanganku dan memelukku. Dalam dekapan itu, aku menangis tanpa
suara. Hanya isakan kecil yang tertangkap indra pendengaranku sendiri.
“Maafkan
aku, Lucy. Maaf.”
“Jangan
pernah meminta maaf, Anna. Aku tahu kau sulit menerimaku. Mungkin jika aku
dalam posisimu, aku juga tidak akan menerima seorang ibu tiri tak dikenal
sepertiku masuk dalam kehidupanku yang telah damai. Bukan begitu?” Lucy
menarikku dari pelukannya dan menatapku dengan senyuman yang memancarkan
kehangatan.
“Tetap
saja aku salah, Lucy.”
“Kalau
begitu lupakan saja masa lalu,” katanya sambil mengedikkan bahu. “Tidak masalah
jika kau tidak bisa memanggilku Mama, aku tidak pernah menuntut itu juga.
Setidaknya cukup kau menganggapku ada. Dan jangan mengabaikanku lagi. Karena
aku sangat menyukai saat-saat ketika aku berbicara denganmu seperti ini, Anna.”
Aku
tersenyum kecil. Kupeluk Lucy sekali lagi. Kutumpahkan segala tangis yang
tertahan selama ini. Sesak di dada perlahan menguap. Sejauh apa pun aku lari
dari sebuah masalah, ujung dari perjalanan itu adalah pulang ke rumah. Lucy
kini bisa menjadi rumah untukku.
Tempatku bernaung.
Aku
membencinya. Tapi itu dulu. Karena aku benci perubahan, maka hadirnya Lucy
dalam kehidupanku dan Ayahku membuatku tidak menyukainya. Aku selalu berpikir
kalau Lucy merebut kasih sayang Ayah dariku dan Mama di surga. Dengan adanya
Lucy, maka perasaan Ayah terhadap Mama sudah musnah, bukankah begitu?
Namun
seperti yang Lucy sendiri katakan; dia berbeda. Dia bukan sosok ibuku secara
lahiriyah, dia hanya orang lain yang sekarang akan memiliki posisi berbeda di
hatiku. Ketulusannya nyata, dan hal itu yang membuatku perlahan membuka hati
padanya.
Pada
perempuan itu, aku amat sangat berterima kasih. Dan dia adalah Lucy.
-FIN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar