Kamis, 26 Januari 2017

LETTER to YOU | #10DaysKF

Teruntuk Seseorang,


Halo, assalamualaikum.Namaku Oktavia, seorang mahasiswa di salah satu universitas di Surabaya. Aku bukan seorang pemimpi seperti mereka. Apa kamu juga seperti itu? Jika iya, kita sama. Satu hal yang aku tahu saat aku masuk kuliah adalah; aku ingin pandai, menemukan pekerjaan yang layak dan membahagiakan orang tua. Tapi segalanya tak semudah teorinya. Hmm, hidup ini ternyata melelahkan ya?


Bagaimana harimu? Apakah menyenangkan? Aku rasa semakin bertambahnya umurmu, semakin banyak hal yang ketahui dari pengalamanmu, semakin banyak juga masalah yang kau hadapi. Entah masalah yang kamu timbulkan sendiri atau masalah dari orang lain. Bukan begitu? Mungkin bahkan di usia yang belia, ada di antara mereka yang sudah bisa merasakan kerasnya hidup ini. 


Aku tidak mengenalmu, dan kita tak saling mengenal. Sama seperti aku dengan Tuhanku dulu. Aku hanya mengikuti kata orang tua untuk melaksanakan ibadah, menyembah Yang Kuasa sebagai wujud rasa syukur, kepatuhan, dan juga cinta pada-Nya karena telah memberi hidup ini kepada kita. Sampai akhirnya perlahan cinta ini benar-benar muncul. Aku tidak rela meninggalkan Tuhanku sejemang saja. Aku menyuiaki waktu saat di mana aku bermunajad pada-Nya.


Jadi teruntuk kamu, yang merasa sendiri di dunia ini, tak ada yang menghargai, dan beranggapan bahwa masalahmu teramat sangat besar, tenang, kawan. Masih ada Dia. Siapa pun Tuhanmu, percayalah, di antara semua ciptaan-Nya di dunia ini, di antara mereka yang sudah tak menganggapmu sebagai salah satu dari mereka, masih ada Dia yang selalu menganggapmu ada. Terlepas dari apakah kamu seorang hamba taat atau tidak. Maksudku belum. Setidaknya kita masih hidup, jadi perjuangan kita belum berakhir untuk tetap mencintai-Nya yang Maha Mencintai. 


Teruntuk kamu yang merasa gelisah, aku sarankan mengambil air wudhu dan membaca Qur’an –––atau apa pun yang kamu gunakan untuk beribadah, karena agama kita mungkin berbeda. Lari ke narkoba dan minuman memang menyenangkan, tapi hanya sesaat. Lagipula lari pada hal seperti itu menimbulkan dampak buruk pada diri sendiri. Beda cerita jika kita lari pada hal positif.


“Tidak perlu iri atas apa yang orang lain miliki, kamu tidak tahu apa yang telah diambil darinya. Dan kamu jangan sedih akan cobaan yang kamu terima, kamu tidak tahu apa yang akan diberikan kepadamu nantinya. Bersyukurlah, dan bersabarlah.” 


Itu petuah yang aku genggam selama ini. Karena pada dasarnya kita tak akan pernah cukup jika tak pernah bersyukur, kita akan merasa kurang jika tak pernah menghargai, kita tak akan pernah merasakan jika tak pernah mengalami.


Teruntuk kamu, teruntuk jiwa yang merasa hampa, masih ada Tuhan kita. Mungkin kita berbeda, tapi Tuhan tetap satu. Semoga apa yang aku tulis dapat membuat kamu yang membacanya merasa bahwa masih ada cela bahagia dalam hidup. Masih banyak orang yang peduli, jika pun tak ada, Tuhanmu masih berdiri kokoh di sampingmu, menggenggam pundakmu dan siap memapahmu untuk bangkit kembali menjalani kehidupan. 


Aku bukan hamba yang taat, kawan. Aku hanya seseorang yang ada ketika kamu ingin berbagi tentang resahnya hidup ini. Kudengarkan ceritamu dengan hikmat, lalu aku akan mengajakmu mengingat apa yang kamu dapat dan kita bersama-sama bersyukur Tuhan masih memberi kita kesehatan beserta akal yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.


Semoga bermanfaat, sekian dan terima kasih. 



Wassalamu’alaikum.

ABOUT ME? | #10DaysKF


Kadang menyimpulan perilaku orang di saat pertama kali bertemu itu gampang-gampang susah. Itu terbukti ketika aku menilai orang. Kadang tebakanku benar, kadang juga salah. Dan ternyata ha itu terjadi pada orang lain juga. Teman dekatku kerap salah sangka tentang sifatku yang sebenarnya.


Mereka bilang aku ini jahat.


Pertama kali melihatku, kebanyakan mereka berkata seperti itu. Tatapanku yang cenderung biasa dan wajahku yang terkesan tak ramah membuat mereka enggan mengajakku berbicara. Hingga pada saat kami benar-benar dekat, mereka selalu berkata, “lo itu orangnya supel deh, asli. Gue kira selama ini lo tuh judes, jahat, kayak nenek tiri.” 


Nah loh, nenek tiri itu seperti apa?


Mereka bilang aku ini pendiam.


Aku hampir tertawa saat mereka mengatakan itu. Lagi-lagi kesan pertama. Ya memang, kalau tidak ada hal yang dibicarakan aku cenderung diam. Jarang sekali aku diam, pasti ada hal yang aku bahas dengan orang lain. Jadi bisa dikatakan aku ini cerewet. Sangat cerewet. 


Mereka bilang aku suka membicarakan orang lain.


Kalau soal ini aku tidak terlalu menyangkal. Baiklah, jahat memang kalau membicarakan orang, entah soal kebaikan atau soal kebaikannya. Tapi seperti yang aku katakan di atas, aku ini suka bicara dengan banyak orang, saling bertukar pikiran, dan aku tak segan mendengarkan cerita orang lain. Tentu bukan karena aku bisa menyebarkannya. Melainkan untuk meminta pendapat dengan orang lain. Contohnya begini; 


“Katanya, harga jengkol naik ya?” tanyaku pada seorang teman.


“Ah, masa iya?” tanyanya kembali padaku. 


“Si Candra bilang gitu kemarin. Nggak tau bener apa enggak.”


“Lo sih percaya sama cerita. Buktiin sendiri dong.” 


“Ya kan gue cuman dikasih tau.”


Seperti itu. Kadang aku menjadikan apa yang aku bahas dengan orang lain sebagai topik pembicaraan dengan teman. Jadi bagaimana bisa aku tidak mengatakan; “Loh, aku tau dari temanku sih begitu. Dia kan...” 


Ya, ya, baiklah jika memang aku suka menyangkutkan nama orang di dalam pembicaraanku, tapi sama sekali aku tak berniat membicarakan dia di belakangku.


Mereka bilang aku pandai.


Kalau soal ini, aku bukannya senang, tapi malu. Bukan hanya cerewet, aku ini suka menulis cerita, membaca buku, dan melihat film-film bahkan serial drama. Karena aku juga seorang pendengar –––lepas dari pendengar yang baik atau tidak––– jadi aku juga suka mendengar cerita kehidupan orang dan menanggapi masalah mereka. 


Di sinilah kesalahpahamannya. Hanya karena aku suka memberi nasihat atas apa yang mereka permasalahkan, lantas aku ini dianggap pandai. Itu tidak benar. Aku tidak merasa sepandai itu. Toh aku mengerti harus bagaimana menjalani hidup ini dari mendengarkan cerita orang tua, dari buku bacaan, bahkan dari drama.


Kadang aku menertawai diriku sendiri. Di saat menghadapi masalah orang lain, aku bisa mmeberi mereka petuah, lalu apa kabar dengan masalahku? Entahlah. Aku masih bingung. Pandai menurutku adalah mereka yang antara ucapan dan tindakannya seimbang. Malah kalau bisa tindakannya lebih besar dibanding omongannya. 


Jadi sebanyak apa pun aku ada untuk mereka, memberi mereka pencerahan, aku rasa aku tak sepandai itu. Aku mungkin bisa menyimpulkan masalah, lalu berpikir cara penyelesaiaannya. Namun hal itu bukan benar-benar kepandaian jika tidak dapat diterapkan langsung bukan?


Pandai... berlebihan untukku.  


Mereka bilang aku baik.


Kemarin aku sempat membaca cerita seorang teman di dunia maya, tentang dua sisi koin manusia dalam hidupnya. Kita punya sifat baik dan buruk –––salah satu keadilan yang Tuhan berikan kepada para hamba-Nya. Kalau mereka bilang aku baik, belum tentu selamanya aku baik. Untuk catatan, aku hanya baik kepada mereka yang mau menghargaiku. Aku baik pada mereka yang berpikiran luas dan menghargai orang lain. Pada mereka yang bisa menerima kritik namun juga bisa menjadi orang yang mengkritisiku balik sekalian memberi nasihatnya. 


Pemilih? Ya, aku pemilih. Aku tidak sebaik itu. Kalau tulisan ini mengungkap sisi burukku, aku akui memang secara tak langsung aku begitu. Ada sebuah hadist mengatakan; sembunyikan kelebihanmu seperti kau menyembunyikan kekuranganmu. Lalu untuk apa aku malu pada keburukanku? Toh bagi mereka yang mengerti aku ini buruk, masih tetap bertahan di sekelilingku sampai sekarang. Itu yang aku sebut teman selama ini; saling menerima. Kebaikan itu nilai tambah. Yang terpenting bagiku adalah memperbaiki keburukan dan menggantinya dengan sikap yang lebih baik.



-FIN

Selasa, 24 Januari 2017

The Truth | #10DaysKF

Menjadi miskin bukanlah kesalahan. Yang salah adalah ketika keadaanmu tidak lebih baik dari orang lain dalam hal materi, dan kau terus menyalahkan keadaan alih-alih mengubah nasibmu agar lebih baik di kemudian hari. Setidaknya itu yang dikatakan kakakku sebelum beliau meninggal. Pesannya hanya tertuju padaku. Dia antara semua cucunya, dia sangat menyayangiku. Aku sadar itu. Semua orang juga merasakan hal yang sama.


Mereka memanggilku Josephine. Para penduduk Vellicks mengenal keluargaku. Setidaknya pada beberapa tahun sebelum kakekku meninggal, keluarga kami sempat berjaya. Hingga bisnis keluarga kami perlahan mundur ketika kakek tiada. Bukan perkara ada atau tidaknya kakek sebenarnya. Namun karena keluarga sedang berselisih soal materi. Mereka membawa harta benda yang bisa dibawa dan memperkaya diri sendiri. Termasuk Ibuku, tapi tidak Ayahku. 


“Kalau kita tidak meneruskan bisnis keluarga, bagaimana kita bisa hidup esok hari?” Ibuku berteriak di dapur saat Ayahku mengerutkan kening ketika membaca buku catatannya. Saat kuintip, hanya deretan angka yang tertera di sana. Membuatku pusing sendiri.


“Santailah sedikit, Tania. Kau bisa memecahkan piring-piring itu kalau terus berteriak sejak pagi. Apa kau mau kulitmu semakin keriput? Marah-marah akan membuatmu terlihat seperti Bibi Diana,” ujar Ayahku dengan nada enteng. Bibi Diana adalah orang paling cerewet di keluarga kami. And well, yeah, dia terlihat tua jauh dari usianya. 


Aku tersenyum karenanya. Ayah sangat mirip dengan kakek. Sangat bijaksana dan dermawan, tidak keras kepala dan penuh dengan kecerdasan. Berkebalikan dengan Ibu yang gampang panik akan suatu hal. Kegelisahan Ibu tak lantas membuat orang di sekitarnya tenang, lebih-lebih ikut panik juga.


“Hey, Ricardo!” Ibu muncul dengan spatula di tangannya. “Kau punya anak gadis. Kalau misalnya dia mendapatkan pria yang miskin bagaimana? Apa kau senang jika dia mendapatkan kehidupan yang sama menderitanya dengan kita? Mana ada orang di Vellicks yang menikahkan anaknya dengan orang yang lebih miskin dari mereka?” 


“Apa kau menderita selama ini?” Ayahku menengadah. Kali ini pandangannya serius. Ibuku langsung diam dan memandang Ayahku dengan sedikit rasa bersalah. Pertanyaan Ayah sama sekali tidak bisa dijawab oleh Ibu.


“Aku minta maaf jika aku memang tidak bisa membuatmu bahagia selama ini,” ujar Ayahku sembari menutup bukunya setelah melipat ujung halaman buku itu. “Tapi aku ingin mengingatkanmu, kalau hidup itu tidak selamanya di atas, Sayang. Ada masanya kita harus menderita agar kita tahu darimana asal kita. Well, yeah, aku harap kau dapat mengubah pandanganmu tentang kebahagiaan.” 


“Sayang, aku hanya ingin anak kita mendapatkan kehidupan yang bagus. Setidaknya lebih baik dari yang pernah kita alami,” Ibuku melunak. Kini Ibu duduk di samping Ayah. Sedang aku hanya diam melihat dialog mereka. Sebenarnya mereka sangat manis bagiku.


Ayah memandangku sejenak sebelum berkata pelan. “Aku senang anakku bisa merasakan susahnya hidup ini, Tania. Paling tidak, terlihat apa adanya, nyata, lebih baik daripada kelihatan bagus. Dia tak pernah malu pada keadaan kita.” 


*


Kata-kata Ayah yang menguatkanku sampai saat ini. Bahagia tak harus dengan materi. Uang bisa membeli segala hal, tapi uang tidak bisa membeli perasaan bahagia atau bahkan rasa sakit. Sama halnya dengan saat kau bisa membeli jam namun tak bisa membeli waktu. Maka di masa yang sulit itu, Ayah mengajariku banyak hal. Hingga aku bisa menjadi seperti sekarang. 


Mungkin aku bodoh, mungkin aku tak berpendidikan tinggi, tapi aku dikelilingi orang yang aku percayai untuk menjalankan bisnis keluarga kami kembali. Seseorang pernah berkata, bahwa kesuksesan bukan hanya ketika seseorang memiliki IQ yang tinggi. Tetapi juga harus memiliki kontrol emosional yang baik.


Prinsipku tetap sama; terlihat apa adanya, nyata, lebih baik daripada kelihatan bagus. Karena kebahagaiaan yang hakiki lebih baik dibanding hanya terlihat bahagia. 


-FIN

Senin, 23 Januari 2017

TILL THE END | #10DaysKF

Jatuh cinta itu soal gampang, move on yang susah.


Aku menemukan  kata-kata itu dari buku harian kakakku seminggu yang lalu. Tercetak tebal di antara tulisannya yang lain. Apa kakakku sedang patah hati ya? Memangnya sesakit itukah patah hati? Apa sampai membuat orang macam kakakku yang keras kepala jadi melunak? 


Pikiranku tertepis jauh saat aku menyangkal sakit hati itu sendiri. Berhubung aku belum pernah jatuh cinta apalagi pacaran, jadi aku belum pernah tahu apa itu patah hati. Setidaknya dari cerita telenovela yang aku baca, patah hati tidak akan melepas orang yang jatuh cinta. Sama seperti orang yang sukses, mereka tidak akan berjaya tanpa pernah terjatuh atau gagal terlebih dahulu. Apalagi cinta.


Hingga di usiaku yang ke delapan belas tahun, aku baru tahu bagaimana memiliki kekasih. Namanya Dino Satyabisma. Semua teman mengatakan aku beruntung, karena Dino terhitung masuk jajaran anak populer di sekolah. Anak basket, masuk OSIS, dan juga anak IPA. Kecintaan guru dan siswi perempuan di sekolahku. 


“Lo kurang beruntung apa punya Dino, Grace? Dia tuh udah punya segalanya,” kata beberapa teman dekatku kala itu. Ya, aku memang membenarkan awalnya. Sampai aku menemukan hal yang tidak diketahui orang lain tentang Dino.


Dia pecandu. Aku tahu hal itu saat dia mengajakku ke rumahnya dan menemukan beberapa obat-obatan terlarang. Kakakku seorang polisi, jadi aku bisa membedakan mana obat untuk penyakit dan mana narkoba. Paling tidak aku tahu dasar-dasarnya tentang obat seperti itu. Tapi Dino sama sekali tidak menyembunyikannya dariku. Dia malah terang-terangan menunjukkannya padaku. 


Hari itu dia bercerita padaku, tentang segala hal yang terjadi dalam hidupnya. Keluarga yang kaya tidak beguna banyak baginya. Teman dan kepopulerannya di sekolah hanya bisa membahagiakannya sesaat saja. Dia kekurangan kasih sayang karena orang tuanya sudah bercerai saat dia masih bergelimpung di Sekolah Dasar.


“Rumah itu bukan tempat, Grace,” katanya padaku. “Rumah itu perasaan. Kita punya rumah gede juga percuma kalau nggak bisa ngerasain arti rumah itu sendiri, kan?” 


Aku hanya mengangguk kecil. Tidak bermaksud membenarkan omongannya, hanya tidak ingin menyela ceritanya. Semua orang berhak memandang hidup dengan pemikiran mereka. Termasuk Dino, yang mungkin lebih menikmati hidupnya dengan cara seperti ini.


“Oh iya, Din, aku diem bukan berarti aku setuju sama kamu yang pake barang itu, ya,” kataku padanya pelan. Menjaga perasaannya agar dia tidak tersinggung. “Aku cuman menghargai kamu. Tapi kalau kamu mau berhenti, aku bakalan bantu kamu.” 


Kali itu dia tidak menjawab apa-apa. Hanya tersenyum kecil dan menggenggam tanganku.


* 


Seminggu kemudian Dino memutuskanku. Aku tidak tahu sebabnya apa tapi dia memutuskanku dengan cara yang baik. Aku tahu Dino bukan tipikal pengecut. Dia berani mengungkapkan isi hatinya, baik dalam kondisi sadar maupun memakai barang haram itu.


Keputusan Dino bukan hanya menjauhiku. Dino juga keluar dari OSIS, tim basketnya pun mengatakan kalau Dino sudah mengundurkan diri. Hingga lambat laun, batang hidung Dino tidak pernah terliat lagi di sekolah. 


Pikiranku saat itu was-was. Takut terjadi hal yang tidak semua orang inginkan. Semua orang menyayangi Dino. Termasuk aku yang baru beberapa bulan dekat dengannya. Mungkin ada perasaan sayang, tapi tidak sebesar itu. Jujur saja, aku takut patah hati. Bagaimana jika aku segalau kakakku?


“Nih ya, gue kasih tau, kalau lo putus sama Dino, lo nggak bakalan bisa move on deh. Dia itu nggak bakalan bikin orang nyesel udah pacaran sama dia. Tapi dia bakal bikin orang nyesel karena udah mutusin dia,” beberapa waktu lalu aku diberi nasihat seperti itu oleh seseorang. 


Pikiranku melesat jauh. Jika aku menyesal, pasti ada sesuatu yang sangat berharga yang aku lepaskan dari genggamanku. Jika aku tidak menyesal, mereka pasti mengatakan kalau aku hanya main-main saja dengan Dino selama ini. Tapi menuruti apa kata orang itu tidak akan ada habisnya. Yang ada malah kita sendiri yang lelah.


Pada akhirnya, aku menutup telinga. Hanya Dino yang menjadi pusat perhatianku selama ini. Aku mencari keberadaannya. Bertanya pada teman-teman tongkrongannya, teman main basketnya, teman sekelas, bahkan aku nekat datang ke rumahnya dan bertanya pada satpam di rumahnya. Namun hasil yang aku dapat tetap nihil. 


“Loh, mbak ini kan pacarnya mas Dino, kan?” tanya satpam rumah Dino saat aku hampir menyalakan sepedaku hendak pulang ke rumah.


“Iya, Pak. Eh, saya mantannya Dino.” 


“Anu... mbak namanya siapa?” tanyanya lagi.


“Grace, Pak.” 


“Sebentar mbak, ada titipan.”


Satpam rumah Dino memberikan bungkusan kotak besar berwarna coklat padaku. Aku tak tahu apa isinya, namun kuterima bingkisan itu dengan senyuman. Kutinggalkan rumah Dino dengan wajah tidak enak. Aku merindukannya. 


Sampai di rumah, aku membuka bingkisan itu. Isinya sebuah boneka dan sebuah album foto. Di dalamnya terdapat foto kami berdua. Ada beberapa foto yang sengaja diambil tanpa sepengetahuanku selama ini. Aku tersenyum kecil. Lalu sampai di belakang, semakin ke belakang halaman, aku menemukan fotonya yang pucat. Beberapa menunjukkan foto dia berada di rumah sakit. Dia sangat pucat saat memakai baju berwarna hijau rumah sakit. Kadang ada foto yang menunjukkan dia tertidur dengan pulasnya. Dan melihat jajaran foto-foto itu, air mataku sama sekali tidak menetes.


Di akhir album foto, aku menemukan dua buah surat. Yang pertama dari Dino untukku. Tulisannya sangat khas sekali. 


Dear, Grace.
Halo, Babe. Mungkin saat kamu baca surat ini, kita udah putus ya? Maaf karena jadi manusia bodoh yang udah ninggalin kamu. Aku nggak bermaksud jauhin kamu. Aku nggak mau aja jadi orang yang nggak bertanggung jawab atas hubungan kita. Mending putus, jadi orang jahat, dibanding ninggalin kamu tanpa kabar apa pun.


Aku kecanduan, Grace. Papa udah tau kalau aku pake obat-obatan. Dia marah besar. Aku nulis surat ini di tempat rehabilitasi. Tapi lagi-lagi aku sakau. Aku nggak bisa tahan lebih lama tanpa mereka. Susah, Grace. Mending aku mati daripada nggak pake obat. 


Makasih udah jadi tempat paling nyaman buatku. Makasih buat waktu pendek yang udah kamu habisin sama aku. Mungkin nggak ada hal yang paling inginkan dibanding kamu. Makanya aku ngejaga kamu selama ini, karena aku menganggap kamu sebagai rumahku.


Jangan cari aku ya, Babe. Kali aja aku udah mati. Hehehe. I love you. 


Dino Satyabisma.


Surat kedua sepertinya bukan dari Dino. Karena tulisannya berbeda. Benar, surat itu memang bukan dari Dino, melainkan dari Ayahnya. Tulisannya cukup singkat. Namun mampu menjelaskan semuanya. 


Halo, Grace. Saya Ayah Dino. Saya berterimakasih karena kamu selalu ada untuk Dino selama ini, menjadi teman dan rumah untuknya. Dia selalu berkata seperti itu pada saya; bahwa kamu adalah rumahnya selama ini. Dia sakit, Nak. Dino masuk rehabilitasi karena obat-obatan, namun tidak bisa disembuhkan. Dua hari yang lalu, Dino sudah pergi ke surga. Dia menitipkan album itu pada saya agar bisa menyampaikannya ke kamu. Sekali lagi terimakasih atas apa yang sudah kamu berikan untuk anak saya. Sekian.


Aku menutup kedua surat itu dan memasukkannya kembali ke album. Kupandangi boneka itu dengan seksama, hingga tanpa sadar aku tersenyum. Kuusap kepala boneka itu. Rindu itu lebih menyiksa dari patah hati. Nyatanya aku tidak benar-benar patah hati. Perpisahan kami sangatlah biasa, tidak ada permusuhan atau saling menjauhi. Dino meninggalkanku secara baik-baik. 
Mereka salah jika mengatakan aku patah hati. Karena aku masih sedang jatuh cinta dengan Dino-ku sejauh ini. Aku tak pernah menganggap hubungan kita yang singat ini telah berakhir. Bagiku, Dino hanya pamit pergi. Perasaan ini masih untuknya. Walau dia telah jauh di sana.


“Aku kangen kamu, Babe,” lirihku sambil memeluk boneka pemberian Dino. 



-FIN

Minggu, 22 Januari 2017

HER JACK AND HIS ROSE | #10DaysKF

Pagi in Dyandra membuka matanya dengan keadaan gelisah. Mimpi buruk itu datang lagi. Tepat jam tiga dini hari Dyandra terjaga dari tidurnya. Sudah seminggu belakangan ia terus kedatangan mimpi buruk. Namun setelah matanya terbuka lebar, ia tak pernah ingat apa yang ia impikan. Mungkin ia masih belum terbiasa di tempat barunya.


Setelah melihat jam di atas nakasnya yang menunjukkan pukul dua lebih tujuh belas menit dini hari, Dyandra mencoba menutup matanya kembali. Tiga puluh menit ia bergulung di atas kasurnya, namun senyaman apa pun tempat itu, matanya sudah terlanjur terbuka. Ia masih terjaga. 


Akhirnya Dyandra memutuskan untuk mengambil wudhu dan melaksanakan sholat tahajud. Setelah sholat, hatinya kembali tenang. Karena matanya tak bisa diajak kerjasama, akhirnya Dyandra memutuskan untuk memainkan ponselnya.


Ada beberapa pesan masuk di sana, termasuk pesan dari Haikal. Senyum tipis Dyandra terulas saat membaca pesan yang tertera di sana. Ajakan kencan oleh Haikal untuk Dyandra. 


Haikal: Babe, kencan yuk. Aku kangen.


Pesan itu dikirim dua jam yang lalu. Jelas Dyandra sudah terlelap. Di Jepang menunjukkan waktu pukul sembilan malam, jadi bisa disimpulkan kalau Haikal belum tidur sampai lepas pukul sebelas. Dyandra hanya menggelengkan kepala. Mengingat kebiasaan kekasihnya itu masih sama. 


Dyandra: Jemput aku dong di Jepang xoxo


Dyandra tahu kalau Haikal tak akan membalas pesannya. Mungkin di Indonesia masih berkisar jam lima pagi. Mustahil bagi Haikal untuk bangun pagi. Apalagi hari itu adalah hari minggu. Tidak ada kelas yang akan membuatnya malas berada di kampus. 


Haikal: Jauh, Babe. Kamu kapan pulang?


Gadis bermata bulat itu mengernyitkan kening. Haikal membalasnya dalam jeda waktu lima menit saja. Apa yang dilakukan lelaki itu pagi-pagi seperti ini? 


Dyandra: Belum tidur?


Haikal: Udah bangun, abis subuhan. Banyakin doa sp tau kamu cpt pulang, hehe. Xoxo {}


Dyandra: Alhamdulillah, rajin ya sekarang :))


Haikal: Dari dulu kali -_____- kamu kebangun lagi?


Dyandra: Iya. Dibangunin sama Allah, suruh sholat tahajud.


Haikal: Bagus dong. Kali aja kamu emg sengaja gk kerasan di Jpg, trs pulang.


Dyandra: Kamu nih ya, nyuruh plg terus -____-


Haikal: Iyalah. Di sini gk asik gk ada kamu, Babe


Dyandra: Masa iya? Aku pikir kamu udah cari yang lain, hehe


Pesan terakhir Dyandra tidak lagi dibalas oleh Haikal. Hanya dibaca. Sampai waktu berjalan lima belas menit pun Haikal tidak membalasnya. Rasa khawatir pun menyelimuti hati Dyandra. Niatnya hanya bercanda. Tapi tak tahu lagi kalau Haikal menanggapinya dengan serius. Bisa saja prasangka Dyandra salah, dan membuat Haikal marah. Setidaknya hal itu lebih baik dibanding mendengar Haikal mengakui kalau dirinya memang bermain api dengan perempuan lain, bukan?


Haikal incoming call...


Dyandra buru-buru bangkit dari tidurnya. Ia menelan salivanya setelah melihat dengan jelas nama Haikal di layar ponselnya. Ia menggeser tombol hijau dengan ragu sebelum akhirnya menempelkan ponsel itu ke telinganya. 


“Halo, assalamu’alaikum,” sapanya dengan suara lirih.


Wa’alaikumsalam,” jawab Haikal di seberang sana. 


“Ke-kenapa telfon, Kal?”


Kangen suara kamu. Kangen sama wajah kamu. Kangen semua hal yang udah pernah kita laluin dan nggak bakalan sama waktu aku jalanin hari-hariku sama yang lain,” ucapan Haikal langsung menghunus hati Dyandra. Ia merasa tersinggung. 


“Maaf, Kal. Aku cuman bercanda,” lagi-lagi Dyandra berkata pelan. Ia menyesal.


Santai aja, Babe. Kamu harus tau, sejauh apa pun aku lari dari kamu, tetep aja kamu adalah tujuan terakhirku. Makasih udah jaga hubungan kita dari jauh. Dengan begini kita bakalan terhindar dari hal yang enggak-enggak, kan?” 


“Iya. Aku seneng kamu mikirnya positif, Kal. Aku sayang sama kamu yang nggak pernah nuntut apa-apa ke aku selama ini,” Dyandra tersenyum kecil di sela ucapannya. Mengingat memori yang pernah ia lalui bersama Haikal.


Balik ke Indo mau aku lamar nggak? 


Pipi bulat Dyandra memerah. Walau Haikal jelas tak melihatnya, namun Dyandra benar-benar malu sekarang. Mungkin membahas soal lamaran tidak boleh dengan nada bercanda. Tapi tetap saja rasanya malu jika membicarakan hal itu dengan orang yang ia inginkan selama ini.


“Ngaco!” ucap Dyandra pelan. Niatnya ingin mendengus kesal, namun suaranya tak terlalu terdengar. 


Loh, serius,” sanggah Haikal. “Kan enak tuh habis nikah, kalau kita jalan atau kencan nggak bakalan ada yang ngelarang. Orang udah sah, iya kan?


“Sekolah dulu deh yang pinter, Kal. Jodoh nggak bakalan kemana-mana.” 


Kamu nggak bakalan kemana-mana juga, kan?


“Kenapa emang?” 


Soalnya kata kamu, jodohku nggak kemana-mana. Makanya kamu jangan kemana-mana ya, Babe. Hehehe,” Haikal terkekeh geli atas ucapannya sendiri. Ia tak tahu di ujung sana, Dyandra mati-matian menahan senyumannya sendiri.


“Bisa aja ya kamu. Emang kalau kencan, mau ajak kemana?” 


Kemana ya? Kamu maunya kemana, Dra?


“Hmm, mau nonton film aja deh.” 


Sederhana banget, Babe. Yang agak nantang gitu loh.”


“Heys,” Dyandra memasang muka sebal. Haikal sudah mulai menjengkelkan kalau berlagak. “Ah, iya, aku pengen lihat film-film lama dan mengunjungi tempat yang ada di film itu. Menantang, kan?” 


Oke, siap. Mau nonton film apa aja?


“Hmm, Laskar Pelangi, Letters to Juliette, dan Titanic. Berarti nanti kita ke Belitung, Paris, sama London ya, Kal? Wah, asik tuh liburan,” Dyandra sengaja membuat suaranya terdengar semenyebalkan mungkin. Ia ingin menggoda Haikal. 


Bisa tuh. Nanti setelah kamu balik ke Indo, kita liburan ke Belitung. Pas nikah, kita bulan madu ke Paris tuh. Nah setelah lahir anak pertama, kita bisa liburan ke London. Gimana, Dra?


Dyandra tercengang. Tak menyangka jika Haikal akan menanggapi candaannya. Suara Haikal terdengar antusias. Seolah tak ada rasa ragu di dalamnya. Seolah semua impian mereka di masa depan dapat dilaksanakan dengan mudahnya. 


Dra, kok kamu diem? Mikirin apa? Ada film lain yang pengen kamu tonton?


“Eh?” Dyandra tersadar dari lamunannya. “Enggak kok, Kal. Aku cuman mikir kalau kenapa kamu nanggepin omonganku. Kamu tau kan aku cuman iseng bilang gitu. Aku nggak pengen morotin kamu dan tega nyuruh kamu siapin liburan ke Paris atau London. Kalau ke Belitung masih aku setujuin.” 


Lah kan buat calon istri sendiri. Lagian aku kepo ya, Babe. Dari sekian banyak film, kenapa kamu pilih tiga itu? Apa karena lokasinya memang pengen kamu kunjungi?


“Aku sama sekali nggak tau Belitung sebelum liat Laskar Pelangi, Kal,” Dyandra mulai bercerita. “Sampai hadir rasa sukaku terhadap anak-anak yang gemar menempuh pendidikan walau dengan keterbatasan keadaan, baik secara ekonomi maupun mental karena liat fil itu. Makanya aku pengen ke Belitung dan melihat sekolah anak-anak Laskar Pelangi. 


Kemudian film Letters to Juliette. Film ini mengisahkan soal jodoh. Seperti teori kamu; sejauh apa pun kamu melangkah, kalau pada akhirnya takdir menginginkan kita bersama, kita bakalan berakhir di pernikahan kok. Bahagia itu gampang, tapi soal sayang, aku rasa nggak semua hati bisa pas satu sama lain. Nggak semua hati bisa melekat erat satu sama lain. Aku sebenernya nggak pengen ke Paris, cuman kalo emang ada kesempatan ke sana, ya nggak masalah.


Lalu film Titanic. Aku selalu jatuh cinta sama Lenoardo de Caprio. Seolah di film ini dia menertawakan orang yang menjunjung tinggi kepercaan kalau cinta itu datang karena terbiasa. Emang berapa lama sih waktu yang diperlukan untuk jatuh cinta? Padahal di kapal itu mereka hanya bertemu beberapa jam aja. Iya kan? Dari film ini, aku percaya kalau cinta itu bukan hanya perkara terbiasa, cinta bakal hadir karena rasa nyaman dan aman. Kita bakalan merasa terlindungi walau kita udah jatuh berkali-kali. Kita bakalan ngerasa bebas walau sedang diikat kencang oleh rasa itu sendiri. Dan London? Aku harap aku bener-bener bisa ke sana bareng kamu, Kal. I love you.” 


Percakapan itu berlangsung sampai waktu subuh di Jepang. Dyandra beranjak dari ranjangnya dan menunaikan ibadah kepada Tuhannya. Dalam doanya, dia bermunajat, agar apa pun yang ia perjuangkan saat ini, ia meminta akan berakhir indah nantinya. Jika pada akhirnya Haikal bukanlah ujung dari perjalanannya, Dyandra selalu berdoa untuk pria itu. Berdoa untuk kebaikannya. Walau dalam hatinya ia juga masih ingin menjadi Rose yang menemukan Jack dalam hitungan hari dan berjuang bersama demi sebuah rasa yang mengeratkan mereka.




-FIN