Rabu, 20 November 2013

Sekotak Kenangan



Sekotak Kenangan

                Sudah petang rupanya, baru saja sampai di tempat ini dan selalu begini. Berpapasan dengan jingga yang memancarkan senja. Ah! Hatiku terasa sakit lagi, nafasku tersenggal lagi, air mataku jatuh kembali. Lelah memang, tapi sangat melegakan. Jadi ingat pelajaran kelas sepuluh dulu, air mata adalah salah satu hormone yang harus dikeluarkan.

                “Tetep cengeng ya kamu? Padahal bentar lagi lulus, terus bakalan jadi mahasiswa. Tapi, tetep aja nggak bisa kalau nggak cengeng.”

                “Aku terlambat berapa menit?”

                “Emm, kira – kira setengah jam. Sekarang udah jam setengah lima dan bentar lagi magrib. Jadi sebaiknya kita cari musholah dan sholat berjama’ah.”

                “Oke!”

                Tempat ini, sebuah bukit dengan cekungan danau yang nggak seberapa besar. Selalu menyimpan senja di setiap sorenya. Tiga tahun lalu tempat ini aku temuin pasca setelah selelsai hari terakhir MOPDB. Aku bisa teriak sampai aku menangis di sini. Sampai akhirnya malu sekali karena dilihat sama Raka. Dia yang menyapaku barusan. Tempat yang menyenangkan sekali, dan di sini tempat Raka menembaku. Dulu sekali!

                “Kamu mau sampai kapan selalu menyempatkan ke Danau?” tanya Raka di suatu senja.

                “Nggak tau juga, aku suka banget tempat ini. Aku nggak tau daerah manapun kecuali tempat ini setelah selesai MOPDB. Aku suka banget sama pemandangannya dan aku pasti nggak bakalan ngelepasin apa yang aku suka. Kamu tau kan kalau aku emang egois?”

                “Hahahahah. Iya! Kamu emang egois banget.”

                “Kok ketawa? Ada hal yang lucu sama keegoisanku?”

                “Iya, aku inget banget. Ada seorang cewek yang aku bawa ke sini buat ngeliat Danau ini dan kamu marah besar. Aku sampai bengong ngeliatin marahnya kamu, Kania.”

                “Kamu salah Raka….” kalau saja kamu tau itu rasa cemburu. Ah, sudahlah. Itu sudah berlalu.

                “Jadi, kenapa kamu marah waktu itu?”

                “Mungkin cemburu! Mungkin juga karena egois! Nggak tau, aku emang orang yang aneh kayaknya. Menghakimi apa yang sebenarnya milik umum dan bisa dinikmati semua orang.”

                “Seperti egois karena menyukaiku dan selalu cemburu dengan orang lain.”

                “Mungkin. Tapi, aku dulu masih murid SMP yang baru masuk SMA. Masih benar – benar rasa suka yang nggak bisa aku kendalikan. Terbawa suasana dan keadaan hingga akhirnya kalah dewasa sama kamu. Sekarang kita cuman teman Raka. Aku seneng pernah suka sama kamu, dan karena kamu tentunya aku lebih paham arti memahami dan menghargai.”

                “Sekarang udah dewasa, dong?”

                “Alhamdulillah! Lumayan lah bisa ngontrol dan bisa ngerubah sikap yang jelek – jelek.”

                “Bagus dong!”

                “Yaudah. Aku pulang dulu ya, udah sore juga. Aku nggak mau pulang telat hari ini.”

                Batu tak bersalah di jalan pun ku sepak juga. Rasanya geregetan sendiri dengan sikapku ini. Rasa itu sudah dua tahun berlalu dan masih saja jantungku kencang berdetak ketika menatap mata Raka. Dia bukan cinta pertamaku, cinta pertamaku aku rasakan sewaktu SMP. Ah! Aku salah besar mengenai hal itu. Masa pecaran pertamaku dulu memang sewaktu SMP, tapi cinta yang benar – benar membuatku tidak bisa tidur adalah saat bersama Raka.

                Kalau diflashback lagi, aku pacaran dengan Raka hanya berkisar satu tahun. Cukup lama juga menurut beberapa orang. Ya! Aku memang benar – benar menyukainya. Sepertinya cukup kalian pahami apa yang akan aku ceritakan. Semua orang juga merasakan hal sama ketika menyukai seseorang. Hanya saja paket perwujudan rasa mereka yang berbeda – beda. Hingga akhirnya kami putus, dan tidak ada kata “nyambung kembali” dalam hubungan kami. Tentu saja kecuali teman. Apa ya yang membuat kami putus? Ya, aku ingat! Ketika Raka pergi berlomba dengan seorang gadis sekelasnya. Waktu itu kami sudah kelas sebelas. Gossip beredar dari angin – angin liar yang tak karuan. Aku terpancing dan egoku tak terkendali. Raka tetap sabar dan memahami pemikiranku waktu itu. Sampai akhirnya aku tau semua yang terjadi dan menangis di Danau itu. Lucu ya! Seperti layaknya anak zaman sekarang. Jomblo – cari kenalan – minta nomor telepon – SMSan – pendekatan – jadian – bertengkar – putus – jomblo lagi. Sudah mirip sekali dengan daur hidup tumbuhan lumut.

                Sejak kejadian salah paham itu, aku bertekat rajin belajar. Entah kenapa, oleh apa, dan bagaimana, aku ingin sekali mengalahkan gadis itu. Aku ingin sepintar Raka dan tidak dianggap gadis cengeng yang hanya bisa posesif terhadap pacarnya. Aku ingin aku juga bisa melakukan sesuatu yang membanggakan Raka. Tapi, tunggu dulu! Dia bukan lagi milikku, Raka sudah sendirian sekarang. Tapi aku nggak bisa mundur, aku orang yang egois dan harus bisa memanfaatkan hal itu. Dengan cara belajar dan mempunyai prestasi. Yaa, walau nggak sebanyak Raka tentunya.

                Lumayan! Beberapa orang bisa menganggap aku ada di lingkungan mereka. Maksudku dalam lingkungan anak – anak pintar. Baru saja aku menggaet tropi juara ke dua lomba Karya Ilmiah tingkat Provinsi. Juga sebuah tropi juara satu lomba menulis oleh Dinas Pendidikan yang diadakan pekan lalu. Jadi begini ya rasanya bangga terhadap diri sendiri ketika memperoleh hasil dari suatu usaha. Hal yang membuatku kaget adalah setelah malam hari aku berada di rumah 23 Januari lalu, Raka mengirimku pesan singkat. Isinya:

Raka : Selamat ya! Tingkatin terus belajarmu. Kalau kita masih jadian, mungkin aku bakalan mentraktir kamu es krim sepuas kamu. J

                Alhamdulillah! Aku masuk di Universitas Gajah Mada. Jauh sekali dari Surabaya, dan semua orang yang membuat kenangan indah masa SMAku. Kembali ke kampung halaman dan menikamati sibuknya menjadi mahasiswa di sini. Ya! Aku pindah ke Surabaya ketika aku masuk SMA. Bertemu dengan Raka dan semua orang baru di sana. Menjalani kehidupan bersama Eyang Putri karena Ayah dan Ibu ada di Jakarta untuk kerja. Sekarang kami berkumpul menjadi satu.

                “Bakalan jauh nih sama kamu, Kania.”

                “Raka! Kamu belum berangkat?”

                “Ke Bandung? Atau ke Jogya?”

                “Ya ke Bandung lah, kalau ke Jogya ya aku.”

                “Tapi aku mau nyusul kamu ke Jogya.”

                “Ngapain? Bukannya kamu udah diterima di ITB ya?”

                “Udah kok, Kania. Cuman aku ke Jogya buat nemenin kamu kalau weekend. Mungkin kesepian karena nggak ada orang yang rame kayak aku.”

                “Stop! Aku nggak ngerti omongan kamu.”

                “Aku masih suka kamu, Kania.” deg! Maksunya Raka apa?

                “Maksudnya gimana?”

                “Aku belum bisa, emm, move on! Hahahaha, lucu banget bahasnya anak sekarang. Tapi, serius. Aku bener – bener masih suka sama kamu. Apalagi waktu kamu bisa masuk dengan Univ favorit kamu karena bantuan piagam lomba – lomba yang kamu usahain sendiri itu.”

                “Jadi, kamu suka aku waktu aku pinter aja gitu?”

                “Bukan! Kok nuduhnya jelek banget sih?”

                “Terus?”

                “Ya! Aku kan udah bilang aku gagal move on. Mau nggak jadi pacar aku lagi? Secara, UNAS udah selesai kan? Kita udah lulus dan Alhamdulillah diterima di Univ favorit masing – masing.”

                “Emm, gimana ya? Kayaknya aku nggak bisa deh.”

                “Enggak bisa nolak atau gimana maksudnya?”

                “Bener – bener nggak bisa!”

                “Nggak bisa ngejalin hubungan LDR?”

                “Kamu tau benang?”

                “Apa hubungannya sama benang sih?” baru kali ini aku ngeliat wajah Raka benar – benar penasaran. Wajah yang belum pernah aku pandang sewaktu pacaran dulu. Wajah panik yang benar – benar bikin gemes.

                “Hubungan itu seperti benang. Kalau benang itu putus, bisa nggak dihubungin lagi?”

                “Ya bisa dong!”

                “Oke! Bentuknya masih bagus nggak kayak semula?”

                “Enggak sih.”

                “Sama seperti hubungan seseorang. Bisa putus, tapi nggak mungkin bisa kembali orsinil. Tergantung bagaimana mereka mau saling memahami kembali atau benar – benar memutus hubungan itu. Raka ngerti?”

                “Jadi kamu mau pergi gitu aja?” aku tatap mata Raka. Ku beranikan menggenggm tangannya. Kemudia lekat sekali menatapnya, sambil menahan air mata tentunya.

                “Kamu bisa nggak nunggu aku enam bulan? Aku mau benar – benar sendiri dulu sampai enam bulan ke depan. Kalau mungkin emang terlalu berat atau bertele – tele buat kamu, nggak usah juga nggak apa – apa. Gimana?

                “Jangan pernah nangis ya! Selama enam bulan ini aku bakalan PDKT sama kamu lagi. Aku akan berusaha sampai akhirnya enam bulan itu bisa dipersingkat sama kamu, Kania.” Raka menyeka air mataku. Lembut sekali.

                “Makasih! Janji jari kelingking dulu dong!”

                “Oke!”

                Tunggu aku enam bulan lagi ya! Anggap saja hari – hari itu seperti penetralisir hubungan yang terjangkit virus. Anggap sebagai buah mengkudu yang menurunkan kadar darah tinggi. Anggap seperti membayar hutang investasi kepada rentenir yang mencekik. Anggap seperti ulangan harian untuk menyelesaikan nilai tugas. Atau hal lain apa pun yang bisa kita ingat semasa SMA kemarin. Salam sukses dan jangan menyerah terhadap apa yang menghadang. Seseorang pernah berkata: “Kenangan selalu membuahkan senyum dan tangis kepada setiap pribadi yang merasakan. Tapi, jangan biarkan kita membuat kenangan yang kita sendiri tidak ingin mengingatnya di masa depan.”

*~*~*



THE END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar