Senin, 17 Februari 2014

Hanya Sepenggal



                Masih sempat rupanya, tapi sampai kapan? Papa selalu seperti ini, tidak pernah mengerti Mama. Bukankah mereka menikah karena ingin melengkapi lubang dalam keluarga ini. Ah! Sampai kapan Papa selalu begini?
                “Kamu ini aneh kok, Han. Dia itu cuman Mama tiri kamu. Tapi amat sangat membela Mamamu,” kata Papa suatu ketika saat Papa pulang sangat larut.
                “Cuman? Apa Papa tau betapa senangnya Hana saat Papa menikah? Hana sangat mengharapkan sosok Ibu dalam kehidupan Hana, Pa! Kenapa Papa nggak pernah ngerti Mama sih? Bukankah Mama juga butuh Papa di rumah?”
                “Mama kamu di sini kan buat nemenin kamu, biar nggak kesepian. Ada Adi juga kan?”
                “Hana nggak ngerti sama jalan pikiran Papa.”
                Tidak tau lagi, apakah Papa benar – benar peduli dengan keluarga ini. Papa sudah menjadi single parent saat aku SD. Kemudian menikah dengan Mama saat aku masuk SMP. Saat itu juga aku menyukai Mama dan keluarga kami menjadi membaik dengan adanya Mama. Tapi, tiga tahun belakangan ini Papa terlihat aneh sekali. Adi, anak Mama berusia 5 tahun dari pernikahannya dulu kurang dekat dengan Papa. Sangat sulit bagi Papa untuk mendekati Adi. Apa mungkin itu yang membuat Papa terlihat stress tiga tahun belakangan ini ya?
                Bodohnya aku, semua teman kini tak menyukai keberadaanku di sekolah. Hanya karena sebuah issue dari kabar angin yang lewat. Papaku seorang Bupati, dan terkena tuduhan korup. Tidak mungkin, aku mengenal Papaku lebih dari siapapun! Papa juga terlihat bahagia di rumah walau kadang terlihat tak tenang dalam beberapa urusan. Namun yang aku tak suka saat Papa di rumah dalam keadaan tak tenang. Bukan aku yang menjadi pelampiasan, terlebih Mama. Terkadang Adi juga melihat pertengkaran tanpa kontak fisik itu. Hanya teriakan yang membuat Adi menangis jika mereka bertengkar hebat.
                “Kenapa, Pa? Bukankah Papa yang mengajari Hana kalau misalnya mencuri itu dosa?”
                “Papa melakukan ini karena…”
                “Karena apa? Karena keluarga kita? Apa Mama, aku , dan Adi pernah menuntut sesuatu.”
                “Bukan, Hana! Papa melakukan ini karena Papa sayang kamu. Kalau saja kamu tau apa yang sedang kamu alami, Hana. Papa bersikeras mencari uang untuk pengobatan kamu. Bahkan Papa menikah lagi agar ada yang menemani kamu.”
                “Memangnya Hana sakit apa, Pa?”
                “Kamu… apa yang kamu keluhkan satu tahun terakhir ini?”
                “Penglihatan Hana kabur dan… apa yang terjadi sebenarnya…?”
                “Almarhum Mama kamu adalah seorang fotografer yang sangat hebat. Tapi dia juga seorang yang bendel seperti kamu. Beliau tidak pernah bosan saat masuk ke ruang cetak dan menghabiskan waktu di sana. Namun, dia terkena penyakit mata. Hal ini sangat umum bagi fotografer, dan saat itu dia sedang mengandung kamu.”
                “Jadi… Hana terkena penyakit Mama? Penyakit itu diturunkan ke Hana? Iya Pa?”
                “Maaf Hana…”
                Tiga bulan kemudian Papa masuk penjara. Papa memang bukan orang jahat, dia tidak bisa. Lambat laun aku memang merasakan mataku kerap sakit. Mama membimbingku untuk terus ke dokter. Ya! Aku memang sakit. Sakit warisan dari Mama kandungku. Tapi, aku senang aku bisa jadi bagian dari Mama. Sekarang, kehidupan baru akan dimulai. Papa akan bebas, aku akan buta tapi aku senang aku masih bisa menikmati hidupku dengan Mama dan Adi. Keluarga kecilku yang sekarang. Sepenggal kisah hidup yang tak selamanya berakhir bahagia. Jika kita sendiri tak berusaha menjadikan kisah itu menjadi kenangan indah nantinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar