Malam yang kelam ini, di kamar ku ini, aku kembali menangis dalam duka. Tenggelam dan semakin tenggelam dalam keterpurukan yang terjadi dan menimpa hati kecilku. Tak pernah aku merasakan betapa kehilangannya seorang yang tak sedarah denganku dengan perasaan yang membuatku pilu. Tetesan air mataku semakin mengguncang tubuhku, dan akhirnya aku dilelapkan dalam tidur dengan hempasan angin keterpurukan.
"Siapa dia?" bentakku.
"Bukan siapa-siapa, tak usah kau pedulikan," ujarnya datar.
"Kamu keterlaluan, apa aku punya salah, jika iya coba katakan?" ujarku lirih. Mataku mulai panas, ku coba menahan air mataku yang ingin keluar dari persinggahannya.
"Tidak, kamu tidak salah. Jujur aku yang salah," ujarnya.
"Maksud kamu?" aku bingung. Aku semakin ingin marah kepadanya, namun tubuhku seakan mati rasa.
"Jujur, aku lebih memilihnya, dibanding dengan kamu. Sejak awal aku hanya bersimpati terhadap perhatianmu. Aku hanya tak ingin kau sedih, dan terkadang aku menjadikanmu pelarian saat dia sedikit tak peduli terhadapku," ungkapnya.
Ya Tuhan, aku tak pernah menyangka kata-kata itu keluar dari bibir manisnya. Lalu untuk apa selama ini dia menyatakan kasih, cinta, sayang terhadapku. Iya, itu hanya belas kasihan semata.
"Benarkah, jadi kamu sudah pacaran dengan cewek pilihan kamu itu?" lirihku. Saat itu kakiku lemas akan hempasan kekecewaan dan kenyataan yang aku terima
"Bukan, dia sudah menjalin hubungan denganku sebelum aku bersama kamu. Dan aku masih ingin bersamanya. Maaf dan terima kasih telah memberikan ku cinta, namun aku benar-benar tak bisa membalasnya. Sekali lagi maaf."
Seketika itu juga dia pergi dari hadapanku. Sosok pria memotifasi ku. Ternyata, dia lebih membawa kepedihan yang teramat dalam.
Aku terbangun dengan air mata di pipiku. Seketika itu juga aku menangis, aku menyesal sungguh menyesal. Bukan karena aku mencintainya, terlebih karena aku tak memahaminya. Yang dia inginkan bukan aku, tapi seorang wanita yang pernah aku lihat menggandengnya mengiringi pasir pantai. Dan mengabadikan cinta mereka dengan mengukirnya di pasir pantai itu beserta senyuman yang mengembang.
Itu memang mimpi, namun menyakitkan. Mimpi itu tergambar dari kenyataan yang aku rasakan. Aku terlalu memikirkannya dan masih tak sanggup melepasnya. Tuhan, andaikan aku diberi kesempatan tuk memilikinya, aku tak ingin raganya namun terlebih hatinya. Tapi jika aku dan dia tak bisa bersatu dalam setitik cinta yang suci, isinkan kami berpisah dengan cara yang indah.
Mungkin aku salah, terlalu memandangnya tanpa mau memandang sisi lain kehidupan ku. Yang banyak orang-orang disekitarku yang lebih menyayangi bahkan mencintaiku. Luka ini masih ada, aku akan membersihkanya sebelum memilih hati mana yang mencintai dan akan kucintai. Itu prinsipku.
Terinspirasi oleh : Lucia (Dunia Uchi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar