Aku kembali terjaga dalam mimpiku. Sungguh terlalu menyiksa
suasana pikiranku saat ini. Bahkan kalian bisa mengatan bahwa hari – hariku
sangat kacau. Aku juga tidak tau mengapa aku masih bertahan dengan keadaanku.
Menjadikanku gadis remaja yang dikategorikan sedang depresi.
“Kamu kenapa Tania? Kok lesu
gitu?” sebuah suara yang tegas namun lembut membuyarkan lamunanku. Namanya
Radika, ketua kelasku yang sama sekali enggan dekat – dekat denganku. Entah apa
yang membuatnya memandangku sebagai virus dalam kelas.
“Peduli apa kamu? Aku mau
sekarat sekali pun kamu tetap tak akan melirikku kan?”
“Aku bertanya baik – baik. Akhir
– akhir ini kamu kelihatan kurang berselera hidup. Bahkan, kata guru olah raga
sewaktu mengukur berat badan, kondisimu turun drastis.”
“Sudahlah! Jauhi aku, aku bukan
anak baik. Iya kan?”
“Tapi kamu masih temanku.”
“Udah. Aku nggak butuh teman
sekarang, aku butuh sendirian. Sekarang kamu balik aja ke kelas daripada
ngercokin aku. Tinggalin aku di UKS sendirian.”
“Aku nggak mau!”
“Oke! Kalau gitu aku yang
pergi.”
“Ikut aku, nggak pake nolak.
Semakin kamu membantah semakin aku kasar,” kemudian genggaman Radika sudah
sangat kuat. Bagaimana bisa aku melepaskan tangan Radika? Sedangkan aku selalu
merasa nyaman ketika bersebelahan dengan Radika. Bahkan walau aku memandangnya
saja. Ah! Jangan sekarang, aku mohon Tuhan. Badanku sakit sekali saat ini.
Kepalaku pening sekali dan sepertinya badanku terlalu berkeringat.
*~*~*
Bau aroma khas rumah sakit. Ahh!
Sakit sekali kepalaku sekarang. Siapa yang membawaku ke sini? Tunggu! Terakhir
kali aku bersama Radika di koridor dekat UKS. Apa dia yang membawaku kemari?
Radika memang orang yang baik.
“Sudah sadar? Sudah puas
merepotkan orang lain? Apa hanya itu saja kemampuanmu?” benar dugaanku dia yang
membawaku kemari. Salah dugaanku mengatakannya sebagai orang baik.
“Kepalaku sakit, jangan banyak
bicara. Labih baik kamu pulang saja, biarkan aku di rumah sakit sendirian. Oh
iya, terima kasih atas bantuanya.”
“Apa? Setelah aku nolong kamu,
terus sikap kamu gini aja?”
“Terus? Aku musti ngapain? Sujud
depan kaki kamu gitu, iya?”
“Seenggaknya kamu jelasin sama
aku tentang keadaan kamu. Kenapa kamu berubah Tania? Kamu bukan cewek yang
sakit – sakitan seperti ini kan? Kamu bukan orang yang seperti sedang jadi
pecandu….”
“Iya! Aku seorang penadu
narkoba! Aku capek Radika, aku capek sama masalah yang tiba – tiba aja muncul.
Papa dan mama mau cerai karena ada orang ketiga. Kakak aku masih di Pert buat
kulaih dan mutusin tinggal di sana dulu buat nenangin diri atas masalah
keluarga. Bahkan anak – anak di kelas nggak ada yang peduli sama sekali ketika
tau kalau orang tua aku cerai. Mereka takut sama anak yang ngalamin broken
home. Aku capek dipojokin di kelas, di tempat ekskul, di mana pun. Aku udah
capek Radika….”
Kemudian aku berhasil menangis
dengan sangat kencang. Aku nggak peduli, dan aku nggak akan mau peduli sama
hidup lagi. Papa, mama, teman, kakak, mereka melarikan diri. Tidak ada tanggung
jawab, tidak ada penyesalan.
“Sejak kapan?” tangan lembut
Radika menggenggam pundakku. Menatap dengan tajam atas segala keingintauannya.
Jika aku jujur padanya, masihkah dia akan memandangku seperti ini walau hanya
sejenak?
“Udah satu minggu. Aku udah
kecanduan dan aku bingung. Aku nggak tau bagaiamana aku harus lakuin biar aku
bisa stop. Sedangkan merak selalu nawarin obat – obat keparat itu. Aku nggak
bisa nolak, mereka selalu bisa ngebujuk aku.”
“Kamu percaya nggak sama aku,
Tania?”
“Maksud kamu?”
Selama satu bulan ini, Radika rajin menemaniku di tempat
rehabilitas. Awalnya sakit sekali apa yang aku rasain. Badanku menolak semua
apa yang seharusnya baik. Ah! Begitu tololnya aku. Setelah keluar dari tempat
rehabilitas ini aku memasuki kelas tiga SMA. Sungguh, seseorang yang pernah berkata
“Ketika kamu di atas roda kehidupan, temanmu akan tau siapa kamu. Ketika kamu
di bawah roda kehidupan, kamu akan tau siapa temanmu” sangat benar. Mereka
berubah seratus delapan pulu derajat dengan pesat. Tatapan mereka ganas penuh
sindiran dan seolah berkata, “Anak broken home memang sudah sewajarnya menuju
jalan yang nggak baik!”.
Hariku pahit setelah enam bulan
menjejaki kelas tiga. Papa dan mama resmi bercerai. Kakak sudah pulang dari
Pert, Australia. Mama tinggal bersamaku dan kakak. Memang, penyebab rusaknya
keluarga kami adalah kenalan baru papa. Hingga semua masalah ini harus
menyeretku jauh pergi ke Amerika bersama mama. Cobaan datang, namun anugerah
Tuhan juga datang. Mama berhasil direkrut sebagai managemen marketing dan
ditugaskan di Amerika. Kakak dan aku harus meneruskan sekolah di sana.
Meninggalkan Indonesia, kenangan, dan meninggalkan Radika.
*~*~*
Lima tahun berlalu. Sekarang aku
sedang kuliah di salah satu Universitas di kota ini. Kakak menikah dengan gadis
yang masih seagama dengan keluarga kami. Mama tetap tegar menjadi single
parent, dan kabarnya papa sudah meninggal terkena serangan jantung. Sekarang
peringatan seratus hari meninggalnya papa. Itu artinya aku berada di Indonesia
sekarang. Hal yang ingin aku temui setelah keluarga adalah Radika. Ya, hanya
Radika! Dimana pemuda tampan itu sekarang, pahalawan tak terduga di tengah
kondisi kritisku. Ah! Apakah dia masih sama?
Aku sedang menikmati senja sore.
Masih jam empat, belum jengah aku memandangi kota Jakarta ini. Kota megah di
mana orang bangga atas kelengakapan yang dimilikinya. Bintang film, stasiun
televise, pusat perbelanjaan, bahkan banjir ditampung di sini. Ini dia,
Capuchino Latteku sudah datang. Aku sedang menikmati kopi bersama kakakku di
kafe kesukaan keluarga. Dulu.
“Tania, kenapa kamu senyum
sendiri?” kak Pio merangkulku hangat.
“Kakak? Enggak, Tania hanya
rindu pada seseorang.”
“Siapa? Papa?”
“Bukan, kalau papa jelas Tania
sangat rindu. Dia temanku sewaktu SMA dulu kak.”
“Oh ya? Tentu saja, gadis cantik
sepertimu pasti banyak yang menyukai.”
“Tidak kak, mayoritas kami
membedakan status sosial. Tapi, hanya Radika yang pada saat itu membela dan
menyemangatiku ketika aku kritis. Aku ingin bertemu dengannya kak.”
“Seperti apa rupanya?”
Seakan keajaiban itu datang, tiba
– tiba aku mengenal sosok yang baru saja lewat di depanku. Radika! Ya, aku
yakin betul dia memang Radika! Duduk di kursi dekat jendela dan meja kasir.
Memakain setelan hitam dengan kemeja biru lautnya. Menunggu seseorang
nampaknya. Bolehkah aku menyapanya? Tentu! Aku ke sini memang untuk menemuinya.
Baiklah.
“Emm, permisi, apa…” ya Tuhan,
dia memang Radika! Diusia dua puluh tiga kami dia masih terlihat tampan.
Sungguh, bolehkah aku masih menyukainya?
“Apa kamu Tania?” ya, aku Tania.
Dan aku senang kamu mengingatku.
“Iya,” Radika berdiri menjabat
erat tanganku dan menyuruhku duduk. Selang beberapa lama kami menanyakan kabar.
Bercerita sedikit tentang seputar kehidupan karir kami. Radika kini menjadi
seorang direktur sebuah perusahaan tekstil milik ayahnya dulu.
“Aku sempat mencarimu, Tania.
Tapi setelah beberapa sumber berkata bahwa kamu pergi ke Amerika, kuhentikan
pencariaku,” ujarnya dengan sedikit raut kecewa.
“Kenapa?”
“Ayah sakit. Aku harus
meneruskan bisnis ini atau keluargaku terlantar. Ya! Sekarang aku sedikit dapat
menikmati usaha ayah yang beliau berikan padaku.”
“Ya, aku dapat melihatnya dengan
penampilanmu sekarang,” kemudian kami tersenyum. Senyuman lembut khas Radika.
Sungguh, hal itu yang membuatku selalu nyaman dengan Radika.
“Lalu, apa sekarang kamu sudah
memiliki seseorang, Tania?” spontan aku shock atas pertanyaan Radika. Kujawab
apa sekarang? Apa aku boleh menyatakan perasaan sukaku saja?
“Aku masih kuliah sambil
mengikuti jejak mama di perusahaan. Mana sempat mencari seseorang. Lalu…”
“Lalu apa?”
“Apa kamu….”
“Oh maaf! Tunggu sebentar ya,”
kemudian Radika melambaikan tangan ke arah pintu masuk. Seorang gadis masuk dan
menuju arah meja kami. Mendekati Radika dan… Oh! Apa ini? Radika mencium kening
gadis ini. Siapa dia? Kekasihnya kah? Atau adiknya?
“Tania, perkenalkan, namanya
Ange, dia….”
“Apa dia adikmu?” spontan lagi.
Namun kali ini aku melakukan hal bodoh. Mereka berdua tersenyum dan wajahku
sekarang masih shock.
“Emm, bukan. Dia istriku
sekarang. Kami bertemu dua tahun lalu. Kemudian setelah hubungan kami enam
bulan, kami memutuskan menikah. Selama satu tahun kami menikah, satu bulan
kemarin Ange hamil. Sekarang dia mengandung anak pertama kami,” deg! Aku
menjatuhakan air mata di hadapan mereka berdua. Menikah? Radika sudah menikah?
“Tania, kamu nggak apa – apa?”
digoncangkan tubuhku oleh Radika. Aku terpaku melihat gadis itu. Ya! Dia cantik
dan sepertinya baik. Dia lembut dan selalu tersenyum kearahku. Orang yang
loyal.
“Siapa namamu tadi?” tanyaku
pada “istri” Radika.
“Aku Ange. Nama kamu kamu Tania
kan?”
“Iya. Selamat ya atas pernikahan
kalian. Aku turut senang,” dengan tatapan sangat lesu kujabat tangannya dan
berjalan pergi meninggalkan mereka.
“Tania? Kamu ke mana?” Radika
memanggilku. Tapi apa artinya sekarang. Dia sudah memiliki istri. Apa yang
harus aku lakukan? Mungkin aku hanya bisa pingsan di hadapannya. Kemudian aku
kembali menghampiri mereka.
“Ange, apa aku boleh minta
tolong?” ujarku sambil memeluknya erat.
“Apa itu Tania? Jika aku bisa
aku akan membantu.”
“Maukah kamu menamai anakmu
nanti seperti namaku. Aku mohon Ange, aku sangat memohon pada kamu dan Radika.”
“Apa?”
“Maukah kamu menamai anakmu
nanti seperti namaku. Tania Rezena!” Ange melepaskan pelukanku dengan lembut,
kemudian tersenyum ke arahku.
“Aku tau cerita kamu dan
hubungan kamu dengan Radika. Orang yang pernah membuat Radika suka untuk
pertama kali. Tapi maaf Tania, aku tak bermaksud merebut Radika.”
“Tidak. Semua sudah rencana
Tuhan. Aku tau itu.”
“Baiklah, terima kasih sudah mengerti.
Aku juga berjanji akan menamai anakku seperti namamu. Tania Rezena yang
nantinya akan menajdi gadis cantik yang baik seperti kamu.”
“Terima kasih. Aku harus kembali
ke Amerika. Selamat tinggal, sampai bertemu ya Ange, Radika!”
Add caption |
Karena, kehidupan tak mungkin selalu bahagia. Seperti dalam
picisan telenovela. Namun kehidupan menerangkan bahwa kebahagian dapat kita
raih sendiri. Bukan berusaha menunggu sekeras apapun. Terlebih menikmati apa
yang kita perjuangkan dengan cara yang positif.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar