Rabu, 13 November 2013

Bukan Picisan


Aku kembali terjaga dalam mimpiku. Sungguh terlalu menyiksa suasana pikiranku saat ini. Bahkan kalian bisa mengatan bahwa hari – hariku sangat kacau. Aku juga tidak tau mengapa aku masih bertahan dengan keadaanku. Menjadikanku gadis remaja yang dikategorikan sedang depresi.
                “Kamu kenapa Tania? Kok lesu gitu?” sebuah suara yang tegas namun lembut membuyarkan lamunanku. Namanya Radika, ketua kelasku yang sama sekali enggan dekat – dekat denganku. Entah apa yang membuatnya memandangku sebagai virus dalam kelas.
                “Peduli apa kamu? Aku mau sekarat sekali pun kamu tetap tak akan melirikku kan?”
                “Aku bertanya baik – baik. Akhir – akhir ini kamu kelihatan kurang berselera hidup. Bahkan, kata guru olah raga sewaktu mengukur berat badan, kondisimu turun drastis.”
                “Sudahlah! Jauhi aku, aku bukan anak baik. Iya kan?”
                “Tapi kamu masih temanku.”
                “Udah. Aku nggak butuh teman sekarang, aku butuh sendirian. Sekarang kamu balik aja ke kelas daripada ngercokin aku. Tinggalin aku di UKS sendirian.”
                “Aku nggak mau!”
                “Oke! Kalau gitu aku yang pergi.”
                “Ikut aku, nggak pake nolak. Semakin kamu membantah semakin aku kasar,” kemudian genggaman Radika sudah sangat kuat. Bagaimana bisa aku melepaskan tangan Radika? Sedangkan aku selalu merasa nyaman ketika bersebelahan dengan Radika. Bahkan walau aku memandangnya saja. Ah! Jangan sekarang, aku mohon Tuhan. Badanku sakit sekali saat ini. Kepalaku pening sekali dan sepertinya badanku terlalu berkeringat.
*~*~*
                Bau aroma khas rumah sakit. Ahh! Sakit sekali kepalaku sekarang. Siapa yang membawaku ke sini? Tunggu! Terakhir kali aku bersama Radika di koridor dekat UKS. Apa dia yang membawaku kemari? Radika memang orang yang baik.
                “Sudah sadar? Sudah puas merepotkan orang lain? Apa hanya itu saja kemampuanmu?” benar dugaanku dia yang membawaku kemari. Salah dugaanku mengatakannya sebagai orang baik.
                “Kepalaku sakit, jangan banyak bicara. Labih baik kamu pulang saja, biarkan aku di rumah sakit sendirian. Oh iya, terima kasih atas bantuanya.”
                “Apa? Setelah aku nolong kamu, terus sikap kamu gini aja?”
                “Terus? Aku musti ngapain? Sujud depan kaki kamu gitu, iya?”
                “Seenggaknya kamu jelasin sama aku tentang keadaan kamu. Kenapa kamu berubah Tania? Kamu bukan cewek yang sakit – sakitan seperti ini kan? Kamu bukan orang yang seperti sedang jadi pecandu….”
                “Iya! Aku seorang penadu narkoba! Aku capek Radika, aku capek sama masalah yang tiba – tiba aja muncul. Papa dan mama mau cerai karena ada orang ketiga. Kakak aku masih di Pert buat kulaih dan mutusin tinggal di sana dulu buat nenangin diri atas masalah keluarga. Bahkan anak – anak di kelas nggak ada yang peduli sama sekali ketika tau kalau orang tua aku cerai. Mereka takut sama anak yang ngalamin broken home. Aku capek dipojokin di kelas, di tempat ekskul, di mana pun. Aku udah capek Radika….”
                Kemudian aku berhasil menangis dengan sangat kencang. Aku nggak peduli, dan aku nggak akan mau peduli sama hidup lagi. Papa, mama, teman, kakak, mereka melarikan diri. Tidak ada tanggung jawab, tidak ada penyesalan.
                “Sejak kapan?” tangan lembut Radika menggenggam pundakku. Menatap dengan tajam atas segala keingintauannya. Jika aku jujur padanya, masihkah dia akan memandangku seperti ini walau hanya sejenak?
                “Udah satu minggu. Aku udah kecanduan dan aku bingung. Aku nggak tau bagaiamana aku harus lakuin biar aku bisa stop. Sedangkan merak selalu nawarin obat – obat keparat itu. Aku nggak bisa nolak, mereka selalu bisa ngebujuk aku.”
                “Kamu percaya nggak sama aku, Tania?”
                “Maksud kamu?”
Selama satu bulan ini, Radika rajin menemaniku di tempat rehabilitas. Awalnya sakit sekali apa yang aku rasain. Badanku menolak semua apa yang seharusnya baik. Ah! Begitu tololnya aku. Setelah keluar dari tempat rehabilitas ini aku memasuki kelas tiga SMA. Sungguh, seseorang yang pernah berkata “Ketika kamu di atas roda kehidupan, temanmu akan tau siapa kamu. Ketika kamu di bawah roda kehidupan, kamu akan tau siapa temanmu” sangat benar. Mereka berubah seratus delapan pulu derajat dengan pesat. Tatapan mereka ganas penuh sindiran dan seolah berkata, “Anak broken home memang sudah sewajarnya menuju jalan yang nggak baik!”.
                Hariku pahit setelah enam bulan menjejaki kelas tiga. Papa dan mama resmi bercerai. Kakak sudah pulang dari Pert, Australia. Mama tinggal bersamaku dan kakak. Memang, penyebab rusaknya keluarga kami adalah kenalan baru papa. Hingga semua masalah ini harus menyeretku jauh pergi ke Amerika bersama mama. Cobaan datang, namun anugerah Tuhan juga datang. Mama berhasil direkrut sebagai managemen marketing dan ditugaskan di Amerika. Kakak dan aku harus meneruskan sekolah di sana. Meninggalkan Indonesia, kenangan, dan meninggalkan Radika.
*~*~*
                Lima tahun berlalu. Sekarang aku sedang kuliah di salah satu Universitas di kota ini. Kakak menikah dengan gadis yang masih seagama dengan keluarga kami. Mama tetap tegar menjadi single parent, dan kabarnya papa sudah meninggal terkena serangan jantung. Sekarang peringatan seratus hari meninggalnya papa. Itu artinya aku berada di Indonesia sekarang. Hal yang ingin aku temui setelah keluarga adalah Radika. Ya, hanya Radika! Dimana pemuda tampan itu sekarang, pahalawan tak terduga di tengah kondisi kritisku. Ah! Apakah dia masih sama?
                Aku sedang menikmati senja sore. Masih jam empat, belum jengah aku memandangi kota Jakarta ini. Kota megah di mana orang bangga atas kelengakapan yang dimilikinya. Bintang film, stasiun televise, pusat perbelanjaan, bahkan banjir ditampung di sini. Ini dia, Capuchino Latteku sudah datang. Aku sedang menikmati kopi bersama kakakku di kafe kesukaan keluarga. Dulu.
                “Tania, kenapa kamu senyum sendiri?” kak Pio merangkulku hangat.
                “Kakak? Enggak, Tania hanya rindu pada seseorang.”
                “Siapa? Papa?”
                “Bukan, kalau papa jelas Tania sangat rindu. Dia temanku sewaktu SMA dulu kak.”
                “Oh ya? Tentu saja, gadis cantik sepertimu pasti banyak yang menyukai.”
                “Tidak kak, mayoritas kami membedakan status sosial. Tapi, hanya Radika yang pada saat itu membela dan menyemangatiku ketika aku kritis. Aku ingin bertemu dengannya kak.”
                “Seperti apa rupanya?”
                Seakan keajaiban itu datang, tiba – tiba aku mengenal sosok yang baru saja lewat di depanku. Radika! Ya, aku yakin betul dia memang Radika! Duduk di kursi dekat jendela dan meja kasir. Memakain setelan hitam dengan kemeja biru lautnya. Menunggu seseorang nampaknya. Bolehkah aku menyapanya? Tentu! Aku ke sini memang untuk menemuinya. Baiklah.
                “Emm, permisi, apa…” ya Tuhan, dia memang Radika! Diusia dua puluh tiga kami dia masih terlihat tampan. Sungguh, bolehkah aku masih menyukainya?
                “Apa kamu Tania?” ya, aku Tania. Dan aku senang kamu mengingatku.
                “Iya,” Radika berdiri menjabat erat tanganku dan menyuruhku duduk. Selang beberapa lama kami menanyakan kabar. Bercerita sedikit tentang seputar kehidupan karir kami. Radika kini menjadi seorang direktur sebuah perusahaan tekstil milik ayahnya dulu.
                “Aku sempat mencarimu, Tania. Tapi setelah beberapa sumber berkata bahwa kamu pergi ke Amerika, kuhentikan pencariaku,” ujarnya dengan sedikit raut kecewa.
                “Kenapa?”
                “Ayah sakit. Aku harus meneruskan bisnis ini atau keluargaku terlantar. Ya! Sekarang aku sedikit dapat menikmati usaha ayah yang beliau berikan padaku.”
                “Ya, aku dapat melihatnya dengan penampilanmu sekarang,” kemudian kami tersenyum. Senyuman lembut khas Radika. Sungguh, hal itu yang membuatku selalu nyaman dengan Radika.
                “Lalu, apa sekarang kamu sudah memiliki seseorang, Tania?” spontan aku shock atas pertanyaan Radika. Kujawab apa sekarang? Apa aku boleh menyatakan perasaan sukaku saja?
                “Aku masih kuliah sambil mengikuti jejak mama di perusahaan. Mana sempat mencari seseorang. Lalu…”
                “Lalu apa?”
                “Apa kamu….”
                “Oh maaf! Tunggu sebentar ya,” kemudian Radika melambaikan tangan ke arah pintu masuk. Seorang gadis masuk dan menuju arah meja kami. Mendekati Radika dan… Oh! Apa ini? Radika mencium kening gadis ini. Siapa dia? Kekasihnya kah? Atau adiknya?
                “Tania, perkenalkan, namanya Ange, dia….”
                “Apa dia adikmu?” spontan lagi. Namun kali ini aku melakukan hal bodoh. Mereka berdua tersenyum dan wajahku sekarang masih shock.
                “Emm, bukan. Dia istriku sekarang. Kami bertemu dua tahun lalu. Kemudian setelah hubungan kami enam bulan, kami memutuskan menikah. Selama satu tahun kami menikah, satu bulan kemarin Ange hamil. Sekarang dia mengandung anak pertama kami,” deg! Aku menjatuhakan air mata di hadapan mereka berdua. Menikah? Radika sudah menikah?
                “Tania, kamu nggak apa – apa?” digoncangkan tubuhku oleh Radika. Aku terpaku melihat gadis itu. Ya! Dia cantik dan sepertinya baik. Dia lembut dan selalu tersenyum kearahku. Orang yang loyal.
                “Siapa namamu tadi?” tanyaku pada “istri” Radika.
                “Aku Ange. Nama kamu kamu Tania kan?”
                “Iya. Selamat ya atas pernikahan kalian. Aku turut senang,” dengan tatapan sangat lesu kujabat tangannya dan berjalan pergi meninggalkan mereka.
                “Tania? Kamu ke mana?” Radika memanggilku. Tapi apa artinya sekarang. Dia sudah memiliki istri. Apa yang harus aku lakukan? Mungkin aku hanya bisa pingsan di hadapannya. Kemudian aku kembali menghampiri mereka.
                “Ange, apa aku boleh minta tolong?” ujarku sambil memeluknya erat.
                “Apa itu Tania? Jika aku bisa aku akan membantu.”
                “Maukah kamu menamai anakmu nanti seperti namaku. Aku mohon Ange, aku sangat memohon pada kamu dan Radika.”
                “Apa?”
                “Maukah kamu menamai anakmu nanti seperti namaku. Tania Rezena!” Ange melepaskan pelukanku dengan lembut, kemudian tersenyum ke arahku.
                “Aku tau cerita kamu dan hubungan kamu dengan Radika. Orang yang pernah membuat Radika suka untuk pertama kali. Tapi maaf Tania, aku tak bermaksud merebut Radika.”
                “Tidak. Semua sudah rencana Tuhan. Aku tau itu.”
                “Baiklah, terima kasih sudah mengerti. Aku juga berjanji akan menamai anakku seperti namamu. Tania Rezena yang nantinya akan menajdi gadis cantik yang baik seperti kamu.”
                “Terima kasih. Aku harus kembali ke Amerika. Selamat tinggal, sampai bertemu ya Ange, Radika!”
Add caption
                Mereka tersenyum, senyuman penuh cinta. Oh! Kebahagiaan ku memang hanya melihat orang yang aku sayangi bahagia. Walau mama seoarang single parent, beliau menikmati itu. Aku juga tak mau mamaksa mama untuk menikah lagi. Kakakku akan meiliki anak dan keluargaku akan mulai ramai. Menikmati kebahagiaan dan melupakan Radika. Turut bahagia atas pernikahannya bersama Ange.
Karena, kehidupan tak mungkin selalu bahagia. Seperti dalam picisan telenovela. Namun kehidupan menerangkan bahwa kebahagian dapat kita raih sendiri. Bukan berusaha menunggu sekeras apapun. Terlebih menikmati apa yang kita perjuangkan dengan cara yang positif.

THE END



Tidak ada komentar:

Posting Komentar