Rabu, 20 November 2013

Sekotak Kenangan



Sekotak Kenangan

                Sudah petang rupanya, baru saja sampai di tempat ini dan selalu begini. Berpapasan dengan jingga yang memancarkan senja. Ah! Hatiku terasa sakit lagi, nafasku tersenggal lagi, air mataku jatuh kembali. Lelah memang, tapi sangat melegakan. Jadi ingat pelajaran kelas sepuluh dulu, air mata adalah salah satu hormone yang harus dikeluarkan.

                “Tetep cengeng ya kamu? Padahal bentar lagi lulus, terus bakalan jadi mahasiswa. Tapi, tetep aja nggak bisa kalau nggak cengeng.”

                “Aku terlambat berapa menit?”

                “Emm, kira – kira setengah jam. Sekarang udah jam setengah lima dan bentar lagi magrib. Jadi sebaiknya kita cari musholah dan sholat berjama’ah.”

                “Oke!”

                Tempat ini, sebuah bukit dengan cekungan danau yang nggak seberapa besar. Selalu menyimpan senja di setiap sorenya. Tiga tahun lalu tempat ini aku temuin pasca setelah selelsai hari terakhir MOPDB. Aku bisa teriak sampai aku menangis di sini. Sampai akhirnya malu sekali karena dilihat sama Raka. Dia yang menyapaku barusan. Tempat yang menyenangkan sekali, dan di sini tempat Raka menembaku. Dulu sekali!

                “Kamu mau sampai kapan selalu menyempatkan ke Danau?” tanya Raka di suatu senja.

                “Nggak tau juga, aku suka banget tempat ini. Aku nggak tau daerah manapun kecuali tempat ini setelah selesai MOPDB. Aku suka banget sama pemandangannya dan aku pasti nggak bakalan ngelepasin apa yang aku suka. Kamu tau kan kalau aku emang egois?”

                “Hahahahah. Iya! Kamu emang egois banget.”

                “Kok ketawa? Ada hal yang lucu sama keegoisanku?”

                “Iya, aku inget banget. Ada seorang cewek yang aku bawa ke sini buat ngeliat Danau ini dan kamu marah besar. Aku sampai bengong ngeliatin marahnya kamu, Kania.”

                “Kamu salah Raka….” kalau saja kamu tau itu rasa cemburu. Ah, sudahlah. Itu sudah berlalu.

                “Jadi, kenapa kamu marah waktu itu?”

                “Mungkin cemburu! Mungkin juga karena egois! Nggak tau, aku emang orang yang aneh kayaknya. Menghakimi apa yang sebenarnya milik umum dan bisa dinikmati semua orang.”

                “Seperti egois karena menyukaiku dan selalu cemburu dengan orang lain.”

                “Mungkin. Tapi, aku dulu masih murid SMP yang baru masuk SMA. Masih benar – benar rasa suka yang nggak bisa aku kendalikan. Terbawa suasana dan keadaan hingga akhirnya kalah dewasa sama kamu. Sekarang kita cuman teman Raka. Aku seneng pernah suka sama kamu, dan karena kamu tentunya aku lebih paham arti memahami dan menghargai.”

                “Sekarang udah dewasa, dong?”

                “Alhamdulillah! Lumayan lah bisa ngontrol dan bisa ngerubah sikap yang jelek – jelek.”

                “Bagus dong!”

                “Yaudah. Aku pulang dulu ya, udah sore juga. Aku nggak mau pulang telat hari ini.”

                Batu tak bersalah di jalan pun ku sepak juga. Rasanya geregetan sendiri dengan sikapku ini. Rasa itu sudah dua tahun berlalu dan masih saja jantungku kencang berdetak ketika menatap mata Raka. Dia bukan cinta pertamaku, cinta pertamaku aku rasakan sewaktu SMP. Ah! Aku salah besar mengenai hal itu. Masa pecaran pertamaku dulu memang sewaktu SMP, tapi cinta yang benar – benar membuatku tidak bisa tidur adalah saat bersama Raka.

                Kalau diflashback lagi, aku pacaran dengan Raka hanya berkisar satu tahun. Cukup lama juga menurut beberapa orang. Ya! Aku memang benar – benar menyukainya. Sepertinya cukup kalian pahami apa yang akan aku ceritakan. Semua orang juga merasakan hal sama ketika menyukai seseorang. Hanya saja paket perwujudan rasa mereka yang berbeda – beda. Hingga akhirnya kami putus, dan tidak ada kata “nyambung kembali” dalam hubungan kami. Tentu saja kecuali teman. Apa ya yang membuat kami putus? Ya, aku ingat! Ketika Raka pergi berlomba dengan seorang gadis sekelasnya. Waktu itu kami sudah kelas sebelas. Gossip beredar dari angin – angin liar yang tak karuan. Aku terpancing dan egoku tak terkendali. Raka tetap sabar dan memahami pemikiranku waktu itu. Sampai akhirnya aku tau semua yang terjadi dan menangis di Danau itu. Lucu ya! Seperti layaknya anak zaman sekarang. Jomblo – cari kenalan – minta nomor telepon – SMSan – pendekatan – jadian – bertengkar – putus – jomblo lagi. Sudah mirip sekali dengan daur hidup tumbuhan lumut.

                Sejak kejadian salah paham itu, aku bertekat rajin belajar. Entah kenapa, oleh apa, dan bagaimana, aku ingin sekali mengalahkan gadis itu. Aku ingin sepintar Raka dan tidak dianggap gadis cengeng yang hanya bisa posesif terhadap pacarnya. Aku ingin aku juga bisa melakukan sesuatu yang membanggakan Raka. Tapi, tunggu dulu! Dia bukan lagi milikku, Raka sudah sendirian sekarang. Tapi aku nggak bisa mundur, aku orang yang egois dan harus bisa memanfaatkan hal itu. Dengan cara belajar dan mempunyai prestasi. Yaa, walau nggak sebanyak Raka tentunya.

                Lumayan! Beberapa orang bisa menganggap aku ada di lingkungan mereka. Maksudku dalam lingkungan anak – anak pintar. Baru saja aku menggaet tropi juara ke dua lomba Karya Ilmiah tingkat Provinsi. Juga sebuah tropi juara satu lomba menulis oleh Dinas Pendidikan yang diadakan pekan lalu. Jadi begini ya rasanya bangga terhadap diri sendiri ketika memperoleh hasil dari suatu usaha. Hal yang membuatku kaget adalah setelah malam hari aku berada di rumah 23 Januari lalu, Raka mengirimku pesan singkat. Isinya:

Raka : Selamat ya! Tingkatin terus belajarmu. Kalau kita masih jadian, mungkin aku bakalan mentraktir kamu es krim sepuas kamu. J

                Alhamdulillah! Aku masuk di Universitas Gajah Mada. Jauh sekali dari Surabaya, dan semua orang yang membuat kenangan indah masa SMAku. Kembali ke kampung halaman dan menikamati sibuknya menjadi mahasiswa di sini. Ya! Aku pindah ke Surabaya ketika aku masuk SMA. Bertemu dengan Raka dan semua orang baru di sana. Menjalani kehidupan bersama Eyang Putri karena Ayah dan Ibu ada di Jakarta untuk kerja. Sekarang kami berkumpul menjadi satu.

                “Bakalan jauh nih sama kamu, Kania.”

                “Raka! Kamu belum berangkat?”

                “Ke Bandung? Atau ke Jogya?”

                “Ya ke Bandung lah, kalau ke Jogya ya aku.”

                “Tapi aku mau nyusul kamu ke Jogya.”

                “Ngapain? Bukannya kamu udah diterima di ITB ya?”

                “Udah kok, Kania. Cuman aku ke Jogya buat nemenin kamu kalau weekend. Mungkin kesepian karena nggak ada orang yang rame kayak aku.”

                “Stop! Aku nggak ngerti omongan kamu.”

                “Aku masih suka kamu, Kania.” deg! Maksunya Raka apa?

                “Maksudnya gimana?”

                “Aku belum bisa, emm, move on! Hahahaha, lucu banget bahasnya anak sekarang. Tapi, serius. Aku bener – bener masih suka sama kamu. Apalagi waktu kamu bisa masuk dengan Univ favorit kamu karena bantuan piagam lomba – lomba yang kamu usahain sendiri itu.”

                “Jadi, kamu suka aku waktu aku pinter aja gitu?”

                “Bukan! Kok nuduhnya jelek banget sih?”

                “Terus?”

                “Ya! Aku kan udah bilang aku gagal move on. Mau nggak jadi pacar aku lagi? Secara, UNAS udah selesai kan? Kita udah lulus dan Alhamdulillah diterima di Univ favorit masing – masing.”

                “Emm, gimana ya? Kayaknya aku nggak bisa deh.”

                “Enggak bisa nolak atau gimana maksudnya?”

                “Bener – bener nggak bisa!”

                “Nggak bisa ngejalin hubungan LDR?”

                “Kamu tau benang?”

                “Apa hubungannya sama benang sih?” baru kali ini aku ngeliat wajah Raka benar – benar penasaran. Wajah yang belum pernah aku pandang sewaktu pacaran dulu. Wajah panik yang benar – benar bikin gemes.

                “Hubungan itu seperti benang. Kalau benang itu putus, bisa nggak dihubungin lagi?”

                “Ya bisa dong!”

                “Oke! Bentuknya masih bagus nggak kayak semula?”

                “Enggak sih.”

                “Sama seperti hubungan seseorang. Bisa putus, tapi nggak mungkin bisa kembali orsinil. Tergantung bagaimana mereka mau saling memahami kembali atau benar – benar memutus hubungan itu. Raka ngerti?”

                “Jadi kamu mau pergi gitu aja?” aku tatap mata Raka. Ku beranikan menggenggm tangannya. Kemudia lekat sekali menatapnya, sambil menahan air mata tentunya.

                “Kamu bisa nggak nunggu aku enam bulan? Aku mau benar – benar sendiri dulu sampai enam bulan ke depan. Kalau mungkin emang terlalu berat atau bertele – tele buat kamu, nggak usah juga nggak apa – apa. Gimana?

                “Jangan pernah nangis ya! Selama enam bulan ini aku bakalan PDKT sama kamu lagi. Aku akan berusaha sampai akhirnya enam bulan itu bisa dipersingkat sama kamu, Kania.” Raka menyeka air mataku. Lembut sekali.

                “Makasih! Janji jari kelingking dulu dong!”

                “Oke!”

                Tunggu aku enam bulan lagi ya! Anggap saja hari – hari itu seperti penetralisir hubungan yang terjangkit virus. Anggap sebagai buah mengkudu yang menurunkan kadar darah tinggi. Anggap seperti membayar hutang investasi kepada rentenir yang mencekik. Anggap seperti ulangan harian untuk menyelesaikan nilai tugas. Atau hal lain apa pun yang bisa kita ingat semasa SMA kemarin. Salam sukses dan jangan menyerah terhadap apa yang menghadang. Seseorang pernah berkata: “Kenangan selalu membuahkan senyum dan tangis kepada setiap pribadi yang merasakan. Tapi, jangan biarkan kita membuat kenangan yang kita sendiri tidak ingin mengingatnya di masa depan.”

*~*~*



THE END

Rabu, 13 November 2013

Kehidupan Cinta…



                Semua memang baik – baik saja. Senyum, sapa, semua terasa menyenangkan saat kita bisa berbagi bersama. Sampai akhirnya hari itu datang. Hari yang mendatangkan garis keterbetasan, tembok pemisah, dan hal – hal lain yang merenggut senyuman kami pada saat itu. Hingga kami terpisahkan, kemudian sebagian dari mereka yang memulai debutnya akan semakin menjadi orang – orang dominan. Beserta tittle yang mereka dapat karena adanya tembok pemisah itu.
                “Eh Jupai! Ini malam minggu woy, have fun dong,” ah! Suara cempreng Nanda ngagetin aja. Duh, masih kepikiran bikin awalan cepren gue nih. Padahal, penyerahannya udah satu minggu lagi, tapi belum siap – siap ngetik. Mana tugas banyak pula. Gue urungin aja kali ya ikutan lomba!
                “Tuh kan ngelamun lagi! Lo kenapa sih?”
                “Nggak kenapa – kenapa kok, Nda. Nggak usah parno gitu lah.”
                “Siapa yang paro? Gue kesel tau nggak, liat muka dan suara lo yang datar macem papan triplek.”
                “Yaudah, kesel aja. Sewot amat!”
                “Kok lo nyebelin sih, Pe?” kami saling memandang. Kemudian tertawa nggak jelas.
                Hal – hal kayak gini nih yang ngebuat gue seneng banget jalan sama Nanda. Bisa santai banget bikin ketawa nggak ketulungan. Jadi banyak kenalan, karena Nanda termasuk cewek yang banyak dilirik. Baik kenalan anak sekolahan, maupun Abang jualan nasi goreng yang sering kami pangkalin kalau lagi malam minggu gini. wajar laah, jomblo sih!
                “Lo diem banget Pe hari ini, kenapa sih?” tanya Nanda saat nasi goreng kita tinggal separuh.
                “Masa sih?”
                “Iyaa! o mikirin seleksi poprov itu ya?”
                “Enggak ah. Masa’ gue mikirin yang begituan.”
                Sebenernya iya sih, gue mikiran seleksi pemilihan basket itu. Lumayan dong nambah kemampuan sama latihan yang beda. Bukannya nggak nyaman sama club basket gue yang sekarang, tapi buat pengalaman kan ya nggak apa – apa dong. Tapi, sejak kemarin gue tau kalau yang kepilih kebanyakan anak – anak dominan, beuuh! Urung deh. Mau apa gue ngumpul sama mereka? Nggak dapet temen mungkin. Apalagi di lapangan, kemungkinan ya jadi cadangan laah. Payah!
                Hmm, kayaknya ada yang kurang nih! Udah kenyang makan nasi goreng, tapi seret banget ini tenggorokan. Tuhan! Kita belum pesen minum dari tadi. Gue ngapain aja sih? Kayaknya kurang kerjaan ngelamunin seleksi tadi yang rencananya mau gue jadiin cerpen.
                “Eh, Nda! Lo tau cowok yang bawa bungkusan putih itu nggak?”
                “Yang mana?”
                “Itu tuh! Yang pakai baju merah, jelana jins se lutut, dan pakai topi… topi apaan sih tuh namanya?” gue nunjuk tuh cowok saat mau pesen minum. Duh, semoga aja Nanda kenal deh sama itu cowok. Please, please, please.
                “Oh, taulah! Namanya Andra, dia mantan gue waktu di SMP pas kelas dua dulu,” deg! Mampus gue. Aduh, mantannya Nanda gue taksir? Bisa ngece gue nih anak, terus gimana dong?
                “Oh, mantan ya?”
                “Kok lo lesu gitu sih? Wah, lo suka ya sama Andra? Oh iya, bukannya kalian satu sekolah?”
                “Emm, iya kita satu sekolah. Tapi kan beda jurusan, dia Teknologi Jaringan dan gue Multimedia. Nggak ada keterkaitan kan?”
                “Ya ampun Jupai, cinta nggak membatasi jalan kali. Gue panggil aja kali ya?”
                “Janga…”
                “Andraaa… hei!” dengan santainya Andra menoleh, dan Nanda melambai – lambai macem orang tenggelam di Antartika tau nggak? Duh, muka konyol gue mau dibuang ke mana nih? Tuhan! Mana Andra udah mulai jalan ke sini lagi. Gue kok kayak orang bego lagi salah tingkah gini sih?
                “Hai! Kamu kok di sini? Sama siapa?” dengan lembut tatapan Andra memandang Nanda. Kayaknya ada yang masih suka nih sama mantan. Duh, gue ngomong apa ya? Belum tentu dong Andra ada rencana balikan sama Nanda.
                “Ini temen deket gue, Ndra. Namanya Jupe.”
                “Bukan kok! Panggil Zulva aja, Ndra.”
                “Hahahaha… kamu jahat banget sih, Nda. Nama bagus gitu bisa kamu sulap jadi jelek,” sumpah gue melting banget. Gue nggak lagi mimpi kan? Gue masih ada di dunia nyata kan? Gue belum ke surga kan? Bentar deh, kok jadi alay melankonis gini sih?
                “Ciyee, yang dibelain.”
                “Apa’an sih?” malu banget gue waktu bilang kalimat itu. Berasa jadi cewek feminine.
                “Eh, kayaknya aku kenal kamu deh. Sekolaha dimana?”
                “Aku?” nanya gue nggak sih?
                “Duuh aku, biasanya juga gue-elo,” sialan. Nanda rese’ banget, bikin down aja.
                “Dia ngomongnya pake ‘kamu’ wey, masa ya gue jawabnya nyolot? Aku sekolah SMK Teratai, beda sama cecunguk satu ini.”
                “Kok lo jahat sih Pe bialng gue cecunguk?” hahahah, muka Nanda udah merah padam.
                “Udah dong, kayak anak kecil deh. Udah pada kelas dua SMA gitu kok. Lagi ada acara apa nih kalian jalan – jalan malam minggu gini? Oh iya Va, kamu ya yang diajak Nanda buat makan ke sini?”
                “Kok tau ya?” wah jangan – jangan nih…
                “Iyalah! Yang ngasih tau nasi goreng paling enak kan aku, sebelum putus sih. Kalau nggak gitu mungkin Nanda tambah kurus karna nggak ada makanan yang cocok sama perutnya,” tuhkan beneran. Mulai deh bahas masa lalu, terus minta nomer hape masing – masing, balikan deh. Duh, CLBK banget cinta zaman sekarang. Bosen!
                “Eh, kamu masuk jurusan apa, Va? Kok kayaknya aku pernah liat kamu, tapi asing banget. Padahal kita satu sekolah ya? Aku kali ya yang nggak peka?” iya Ndra. Lo emang nggak peka banget. Lo nggak peka atas perasaan sayang elo ke Nanda masih ada. Apalagi perasaan orang yang sayang sama elo, malah nggak nembus hati lo kali ya?
                “Emm, kayaknya Jupe capek tuh! Mau pulang nggak Pe?” tuhkan, Nanda udah nunjukin gimana dia ‘agak’ keberatan kalau gue sama Andra mulai ngobrol. Ya ampun, kenapa coba gue tadi bengong waktu Andra nanya gitu? Melting gue over load. Salah gue sih nggak pernah bilang ke Nanda kalau gue suka sama Andra. Jadi kalau sakit hati gini kan emang bukan salahnya Nanda. Yaudah lah, suka bukan berarti cinta kok.
                “Kok lo udah mau pulang sih? Bentar ya! Dimaaass…” beuh. Lantang juga suara Andra. Seketika itu juga, cowok yang sedari tadi kerasan duduk depan gerobak sate itu mendekat. Ya yang dipanggil sama Andra dengan sebutan ‘Dimas’ tadi.
                “Baru selesei nih, capek gue nunggu antrian. Pulang sekarang?”
                “Yaudah deh. Bentar, gue kenalin temen baru gue nih. Emm, nggak baru sih, kita satu sekolah loh sama dia. Tapi gue baru kenalnya sekarang karena gue ketemu temen lama. Kenalin, yang ini Nanda, dan yang ini Zulva.”
                “Dimas!” kayaknya gue juga kenal ini cowok deh. Ke mana – mana, Andra sering banget ngajak cowok ini. Paling sering sih, ke toilet sama kantin sekolah.
                “Yaudah! Gue balik dulu ya, Nda, Va,” what? Great! Andra nggak minta nomor hapenya Nanda.
                “Emm, Ndra! Kita masih bisa ketemu lagi nggak? Gimana ya gue bisa ngehubungin elo?” what? Wait! Kenapa jadi Nanda yang minta sih? Huhuhu… beneran balikan deh kayaknya. Sedih deh gue malem minggu ini. Really satnite. L
***
                OMG! Ini bisa gue bilang berita bagus apa berita buruk sih? Gimana ya? Gue seneng sih kepilih jadi perwakilan sekolah untuk lomba jurnalistik. Secara ya, gue bisa ngasah ilmu gue di sini. Nggak jarang sih, anak jurusan Multimedia kayak gue kepilih ikut lomba. Tapi, hal yang bikin otak gue greget adalah… Andra ikutan lomba ini juga. Uh, gimana gue bisa ngehindarin Andra kalau gini caranya? Tapi, Dimas ikutan nggak ya? Kebetulan atau enggak, gue sering banget ikutan lomba bareng Dimas. Gue kenal kok sama Dimas, udah beberapa bulan semenjak ikutan lomba karya tulis. Hahaha… jangan kaget ya! Gue masuk SMK bukan berarti nggak suka sama hal – hal jurnalistik atau berbau sastra.
                “Jangan lupa, entar ada kumpul! Jangan ngaret kayak biasanya,” siapa sih?
                “Jangan bengong dong!” seketika itu juga, es jeruk yang baru aja masuk mulut sedikit terlonta ke tanah. Rese’ banget sih tuh yang teriak – teriak di telinga gue. Awas aja ya.
                “Hey, denger nggak?” deg! Saat gue berdiri dan berbalik arah dari bangku kantin, udah ada Dimas yang dengan ‘wuih’ banget tingginya di hadapan gue. Kok gue jadi salting gini ya? Jadi sedikit… enggak lah! Nggak mungkin gue bisa ngerasain hal aneh gini.
                “Kok… kok lo teriak – teriak sih?” duuh mampus! Suara gue kenapa serak gini?
                “Elo sih nggak ngerespon omongan gue. Mana ada sih orang yang suka dicuekin?”
                “Maksudnya?” tanpa ngejawab gue, itu cowok langsung nyelonong pergi. Duh, Dimas maunya apa sih? Dari dulu emang rese’ sih, tapi nggak serese’ ini kok! Apa dia lagi sakit hati ya? Emm, udahan deh berurusan sama hati yang sakit. Hati gue lagi sakit juga sekarang.
***
                Nggak tau ya apa ini keajaiban, sekolah gue ngalahin sekolah SMA 25 Jakarta yang terkenal itu. Serius! Karna kemenangan kami ini pula, kantong buat malam minggu tambah tebel. Ya, walau jomblo.
                “Oke! Untuk kemenangan kita, silahkan pilih makanan sesuka kalian. Tapi satu aja yaa,” hahaha… Bu Anita emang guru favorit deh. Paling bisa nyenengin muridnya yang lagi kelaparan.
                “Selamat ya, Va,” astaga! Andra duduk di samping gue sambil ngejebat tangan gue.
                “Oh, emm, iya!” kikuk banget ya? Tolol banget kalau urusan yang beginian.
                “Udah pesen makan?”
                “Belum. Kamu?” cielaaahh, bilangnya ‘kamu’.
                “Belum juga, aku pesenin ya! Tunggu bentar.”
                “Ikut aku bentar!” loh, aduh ini anak ngapain sih? Nggak jelas banget narik tangan gue se-enak jidatnya. Emang gue kambing apa? Kenapa dia nggak pesen makanan juga, coba? Gue ini kan laper, lagian kalau Andra nyariin gue gimana?
                “Ngapain sih lo ngajak gue ke sini, Dim? Lo nggak pesen makan, apa?” eh, tempet ini asyik juga. Ngapain ini anak ngajak gue ke sini ya? Diem aja pula dari tadi. Sariawan kali.
                “Gue mauu… bisa duduk dulu nggak? Capek gue nyari tempat ini, nggak duduk dari tadi,” loh, maksudnya apa?
                “Mau ngomong apa?”
                “Va, eloo beneran nggak sih, emm, suka sama Andra?”
                “Apa?”
                “Iya! Boleh gue tau dikit aja perasaan lo?”
                “Ngaco lo! Ngapain gue suka Andra?” sumpah! Suara gue parau banget waktu bilang gitu. Bohong banget kalau gue nggak suka sama Andra. Tapi beneran, gue belum bener – bener sayang sama Andra. Masih sekedar suka dikit aja.
                “Gimana ya? Kalau gue bilang Andra masih suka sama Nanda, lo marah nggak sama gue?”
                “Apa? Jadi…”
                “Lo udah tau, Va?” wajahnya Dimas lucu banget kalau panik gini.
                “Nggak sih, cuman firasat aja. Waktu kemarin malem di tempat jualan nasi goreng itu. Mata mereka masih mancarin rasa suka dan gue nggak bisa bohong kalau gue nggak cemburu.”
                “Loh, kok nggak cemburu?”
                “Ya, lantas? Gue kan cuman suka, bukannya sayang beneran. Makanya, sepulang dari makan bersama ini, gue mau tanya sama Nanda gimana perasaan Nanda ke Andra. Kalau masih sayang yaa gue bakalan ngejauh dari mereka. Tapi, kalau misalnya Nanda nggak sayang lagi, mungkin gue bakalan ngedeketin Andra deh.”
                “Jangan! Please…”
                “Kenapa sih?”
                “Mending lo yakinin hati lo sekarang! Kalau elo emang nggak suka, itu hal yang bagus.”
                “Omongan lo nggak jelas, tau nggak?” nih orang kenapa sih? Atau jangan – jangan…
                “Coba lo masuk ke dalem, Andra nawarin lo makanan apa engak.”
                “Iya, tadi dia nawarin gue kok. Kenapa sih?”
                “Emm, mungkin dia minta bantuan lo buat ngedeketin dia lagi sama Nanda. Kalau nggak salah sih kemarin dia bilang gitu ke gue sebelum lomba. Namanya juga anak kos kan ya? Nggak apa – apa dong kalau cowok saling cerita. Cuman, masalahnya gue udah ngatuk, jadi kedenagaran suaranya Andra juga samar – samar gitu. Maaf ya!”
                “Hahahaha… lo kok bisa cerewet gini sih?”
                “Masa sih? Ya, gue kan cuman mau cerita sama lo. Wanti – wanti aja biar nggak terlalu sakit nantinya. Baik kan gue?”
                “Iyadeh baik. Tapi gue nggak perlu gituan kali. Ngomong – ngomong, makasih ya!”
                “Hehehehe…”
                “Meringis aja lo, udah ah gue laper mau makan dulu. Nggak ke dalem lo?”
                “Iya, duluan aja!”
                Bener banget omongan Dimas, tentang Andra dan segala macem yang Dimas certain kemarin. Emang belum saatnya gue suka sama orang dulu. Terus kalau malem minggu kayak gini, gue cuman bisa main game, main basket, atau kadang jadi obat nyamuknya Nanda. Lumayan sih kalau jalan sama mereka depet gratisan. Hahaha…
***
                Malam minggu ini nyenengin kayaknya. Karena Andra udah dateng, semuanya beres. Seneng banget malam minggu ini bisa makan malem bareng. Kenapa nggak dari dulu aja sih kejadian gini? Kenapa harus berbelit belit nggak karuan? Capek kan!
                “Emm, Jupai! Ini kan malam minggu pertama kalian, mending berduan aja deh mendingan.”
                “Lo ngomong apa sih, Nda? Kenapa kita nggak gabung sama – sama aja?”
                “Ya nggak romantic lah bego! Udah ah, beduaan sono.”
                “Nanda!”
                “Iya, aku juga mau pergi sama Nanda kok. Aku udah janji pergi berdua sama Nanda. Nggak enak ganggu kencan kamu sama Dimas. Kasian tuh, Dimas dari tadi pucet gitu. Aku tinggal dulu ya. Bye!”
                Oke! Gue nggak tau gimana kemarin bisa jadian sama Dimas. Gue kira hari ini bakalan ada kencan ganda, tapi Nanda sama Andra malah pergi. Dari tadi nungguin Andra doang kirain kita bakalan seneng – seneng bareng.
                “Hai!” kikuk banget gue. Cuman bisa bilang ‘hai’ di hadapan Dimas dengan tampang bego.
                “Bisa dansa nggak? Mau kan dansa bentar sama, emm, aku?”
                “Iyadeh! Ajarin dikit ya!”
                Rasa suka itu beda sama sayang. Kalau suka itu cuman seneng aja ngeliatin gebetan. Sekedar kagum atau seneng atas apa yang dilakuin gebetan. Tapi kalau sayang, beuuh! Apapun yang dilakuin gebetan itu keren pokoknya. Contohnya nih, Dimas jago banget soal dansa. Ya, walau dari dulu gue nggak suka dansa dengan segala macam keteraturan. Gue suka goyang – goyang nggak jelas waktu liat konser. Tapi, Dimas nggak ngebatasin kok gimana cara gue goyang. Ah, udah! Bahasnya tambah ngaco aja. Emm, kesimpulannya adalah, kali ini gue bener – bener jatuh cinta. Apalagi suka, malah mendobel. Emang ya, suka terbalas itu nyenengin dari pada suka sepihak. Love can make you smile, but be careful, love can make you cry in next time. Tergantung sih, gimana cara njaga cinta itu. Namanya juga kehidupan, dan terus berjalan dengan cinta.
 

The End