Sekotak Kenangan
Sudah
petang rupanya, baru saja sampai di tempat ini dan selalu begini. Berpapasan
dengan jingga yang memancarkan senja. Ah! Hatiku terasa sakit lagi, nafasku
tersenggal lagi, air mataku jatuh kembali. Lelah memang, tapi sangat melegakan.
Jadi ingat pelajaran kelas sepuluh dulu, air mata adalah salah satu hormone
yang harus dikeluarkan.
“Tetep
cengeng ya kamu? Padahal bentar lagi lulus, terus bakalan jadi mahasiswa. Tapi,
tetep aja nggak bisa kalau nggak cengeng.”
“Aku
terlambat berapa menit?”
“Emm,
kira – kira setengah jam. Sekarang udah jam setengah lima dan bentar lagi
magrib. Jadi sebaiknya kita cari musholah dan sholat berjama’ah.”
“Oke!”
Tempat
ini, sebuah bukit dengan cekungan danau yang nggak seberapa besar. Selalu menyimpan
senja di setiap sorenya. Tiga tahun lalu tempat ini aku temuin pasca setelah
selelsai hari terakhir MOPDB. Aku bisa teriak sampai aku menangis di sini.
Sampai akhirnya malu sekali karena dilihat sama Raka. Dia yang menyapaku
barusan. Tempat yang menyenangkan sekali, dan di sini tempat Raka menembaku.
Dulu sekali!
“Kamu
mau sampai kapan selalu menyempatkan ke Danau?” tanya Raka di suatu senja.
“Nggak
tau juga, aku suka banget tempat ini. Aku nggak tau daerah manapun kecuali
tempat ini setelah selesai MOPDB. Aku suka banget sama pemandangannya dan aku
pasti nggak bakalan ngelepasin apa yang aku suka. Kamu tau kan kalau aku emang
egois?”
“Hahahahah.
Iya! Kamu emang egois banget.”
“Kok
ketawa? Ada hal yang lucu sama keegoisanku?”
“Iya,
aku inget banget. Ada seorang cewek yang aku bawa ke sini buat ngeliat Danau
ini dan kamu marah besar. Aku sampai bengong ngeliatin marahnya kamu, Kania.”
“Kamu
salah Raka….” kalau saja kamu tau itu rasa cemburu. Ah, sudahlah. Itu sudah
berlalu.
“Jadi,
kenapa kamu marah waktu itu?”
“Mungkin
cemburu! Mungkin juga karena egois! Nggak tau, aku emang orang yang aneh
kayaknya. Menghakimi apa yang sebenarnya milik umum dan bisa dinikmati semua
orang.”
“Seperti
egois karena menyukaiku dan selalu cemburu dengan orang lain.”
“Mungkin.
Tapi, aku dulu masih murid SMP yang baru masuk SMA. Masih benar – benar rasa
suka yang nggak bisa aku kendalikan. Terbawa suasana dan keadaan hingga
akhirnya kalah dewasa sama kamu. Sekarang kita cuman teman Raka. Aku seneng
pernah suka sama kamu, dan karena kamu tentunya aku lebih paham arti memahami
dan menghargai.”
“Sekarang
udah dewasa, dong?”
“Alhamdulillah!
Lumayan lah bisa ngontrol dan bisa ngerubah sikap yang jelek – jelek.”
“Bagus
dong!”
“Yaudah.
Aku pulang dulu ya, udah sore juga. Aku nggak mau pulang telat hari ini.”
Batu
tak bersalah di jalan pun ku sepak juga. Rasanya geregetan sendiri dengan
sikapku ini. Rasa itu sudah dua tahun berlalu dan masih saja jantungku kencang
berdetak ketika menatap mata Raka. Dia bukan cinta pertamaku, cinta pertamaku
aku rasakan sewaktu SMP. Ah! Aku salah besar mengenai hal itu. Masa pecaran
pertamaku dulu memang sewaktu SMP, tapi cinta yang benar – benar membuatku
tidak bisa tidur adalah saat bersama Raka.
Kalau
diflashback lagi, aku pacaran dengan Raka hanya berkisar satu tahun. Cukup lama
juga menurut beberapa orang. Ya! Aku memang benar – benar menyukainya.
Sepertinya cukup kalian pahami apa yang akan aku ceritakan. Semua orang juga
merasakan hal sama ketika menyukai seseorang. Hanya saja paket perwujudan rasa
mereka yang berbeda – beda. Hingga akhirnya kami putus, dan tidak ada kata
“nyambung kembali” dalam hubungan kami. Tentu saja kecuali teman. Apa ya yang
membuat kami putus? Ya, aku ingat! Ketika Raka pergi berlomba dengan seorang
gadis sekelasnya. Waktu itu kami sudah kelas sebelas. Gossip beredar dari angin
– angin liar yang tak karuan. Aku terpancing dan egoku tak terkendali. Raka
tetap sabar dan memahami pemikiranku waktu itu. Sampai akhirnya aku tau semua
yang terjadi dan menangis di Danau itu. Lucu ya! Seperti layaknya anak zaman
sekarang. Jomblo – cari kenalan – minta nomor telepon – SMSan – pendekatan –
jadian – bertengkar – putus – jomblo lagi. Sudah mirip sekali dengan daur hidup
tumbuhan lumut.
Sejak
kejadian salah paham itu, aku bertekat rajin belajar. Entah kenapa, oleh apa,
dan bagaimana, aku ingin sekali mengalahkan gadis itu. Aku ingin sepintar Raka
dan tidak dianggap gadis cengeng yang hanya bisa posesif terhadap pacarnya. Aku
ingin aku juga bisa melakukan sesuatu yang membanggakan Raka. Tapi, tunggu
dulu! Dia bukan lagi milikku, Raka sudah sendirian sekarang. Tapi aku nggak
bisa mundur, aku orang yang egois dan harus bisa memanfaatkan hal itu. Dengan
cara belajar dan mempunyai prestasi. Yaa, walau nggak sebanyak Raka tentunya.
Lumayan!
Beberapa orang bisa menganggap aku ada di lingkungan mereka. Maksudku dalam
lingkungan anak – anak pintar. Baru saja aku menggaet tropi juara ke dua lomba
Karya Ilmiah tingkat Provinsi. Juga sebuah tropi juara satu lomba menulis oleh
Dinas Pendidikan yang diadakan pekan lalu. Jadi begini ya rasanya bangga
terhadap diri sendiri ketika memperoleh hasil dari suatu usaha. Hal yang
membuatku kaget adalah setelah malam hari aku berada di rumah 23 Januari lalu,
Raka mengirimku pesan singkat. Isinya:
Raka : Selamat ya!
Tingkatin terus belajarmu. Kalau kita masih jadian, mungkin aku bakalan
mentraktir kamu es krim sepuas kamu. J
Alhamdulillah!
Aku masuk di Universitas Gajah Mada. Jauh sekali dari Surabaya, dan semua orang
yang membuat kenangan indah masa SMAku. Kembali ke kampung halaman dan
menikamati sibuknya menjadi mahasiswa di sini. Ya! Aku pindah ke Surabaya
ketika aku masuk SMA. Bertemu dengan Raka dan semua orang baru di sana.
Menjalani kehidupan bersama Eyang Putri karena Ayah dan Ibu ada di Jakarta
untuk kerja. Sekarang kami berkumpul menjadi satu.
“Bakalan
jauh nih sama kamu, Kania.”
“Raka!
Kamu belum berangkat?”
“Ke
Bandung? Atau ke Jogya?”
“Ya ke
Bandung lah, kalau ke Jogya ya aku.”
“Tapi
aku mau nyusul kamu ke Jogya.”
“Ngapain?
Bukannya kamu udah diterima di ITB ya?”
“Udah
kok, Kania. Cuman aku ke Jogya buat nemenin kamu kalau weekend. Mungkin
kesepian karena nggak ada orang yang rame kayak aku.”
“Stop!
Aku nggak ngerti omongan kamu.”
“Aku
masih suka kamu, Kania.” deg! Maksunya Raka apa?
“Maksudnya
gimana?”
“Aku
belum bisa, emm, move on! Hahahaha, lucu banget bahasnya anak sekarang. Tapi,
serius. Aku bener – bener masih suka sama kamu. Apalagi waktu kamu bisa masuk
dengan Univ favorit kamu karena bantuan piagam lomba – lomba yang kamu usahain
sendiri itu.”
“Jadi,
kamu suka aku waktu aku pinter aja gitu?”
“Bukan!
Kok nuduhnya jelek banget sih?”
“Terus?”
“Ya!
Aku kan udah bilang aku gagal move on. Mau nggak jadi pacar aku lagi? Secara,
UNAS udah selesai kan? Kita udah lulus dan Alhamdulillah diterima di Univ
favorit masing – masing.”
“Emm,
gimana ya? Kayaknya aku nggak bisa deh.”
“Enggak
bisa nolak atau gimana maksudnya?”
“Bener
– bener nggak bisa!”
“Nggak
bisa ngejalin hubungan LDR?”
“Kamu
tau benang?”
“Apa
hubungannya sama benang sih?” baru kali ini aku ngeliat wajah Raka benar –
benar penasaran. Wajah yang belum pernah aku pandang sewaktu pacaran dulu.
Wajah panik yang benar – benar bikin gemes.
“Hubungan
itu seperti benang. Kalau benang itu putus, bisa nggak dihubungin lagi?”
“Ya
bisa dong!”
“Oke!
Bentuknya masih bagus nggak kayak semula?”
“Enggak
sih.”
“Sama
seperti hubungan seseorang. Bisa putus, tapi nggak mungkin bisa kembali
orsinil. Tergantung bagaimana mereka mau saling memahami kembali atau benar –
benar memutus hubungan itu. Raka ngerti?”
“Jadi
kamu mau pergi gitu aja?” aku tatap mata Raka. Ku beranikan menggenggm
tangannya. Kemudia lekat sekali menatapnya, sambil menahan air mata tentunya.
“Kamu
bisa nggak nunggu aku enam bulan? Aku mau benar – benar sendiri dulu sampai
enam bulan ke depan. Kalau mungkin emang terlalu berat atau bertele – tele buat
kamu, nggak usah juga nggak apa – apa. Gimana?
“Jangan
pernah nangis ya! Selama enam bulan ini aku bakalan PDKT sama kamu lagi. Aku
akan berusaha sampai akhirnya enam bulan itu bisa dipersingkat sama kamu,
Kania.” Raka menyeka air mataku. Lembut sekali.
“Makasih!
Janji jari kelingking dulu dong!”
“Oke!”
Tunggu
aku enam bulan lagi ya! Anggap saja hari – hari itu seperti penetralisir
hubungan yang terjangkit virus. Anggap sebagai buah mengkudu yang menurunkan
kadar darah tinggi. Anggap seperti membayar hutang investasi kepada rentenir
yang mencekik. Anggap seperti ulangan harian untuk menyelesaikan nilai tugas.
Atau hal lain apa pun yang bisa kita ingat semasa SMA kemarin. Salam sukses dan
jangan menyerah terhadap apa yang menghadang. Seseorang pernah berkata: “Kenangan selalu membuahkan senyum dan tangis
kepada setiap pribadi yang merasakan. Tapi, jangan biarkan kita membuat
kenangan yang kita sendiri tidak ingin mengingatnya di masa depan.”
*~*~*
THE END