“Shea,
kamu sedang sibuk tidak?” perkenalkan, ini Pak Fatah, Kepala Sekolahku yang
bertubuh kurus kering. Tapi, walau begitu beliau orang yang hebat.
“Tidak
Pak, ada yang bisa saya bantu?”
“Ini
ada anak baru, namanya Velina dari Jakarta. Kamu antarkan ke 11-A5 ya, oh iya
Velina, dia ini ketua OSIS, namanya Shea. Kamu bisa berkenalan sendiri nanti.
Bapak tinggal dulu ya.”
“Iya
Pak!”
Hari
pertama bertemu semuanya masih bungkam, Velina berjalan mengikuti punggungku
dan hanya diam. Sama sekali nggak ada yang membuka omongan, kecuali setelah
kami sampai di kelasnya. Kemudian dia mengucapkan terima kasih. Ya, semua masih
sama sampai sekarang, tak ada sapa tak ada rasa. Emm, bagaimana ini? Aku tidak
bisa menjamin kalau aku tidak memiliki rasa apa-apa dengan Velina.
Seperti
biasanya, hari senin ini Velina selalu datang sekitar jam setengah tujuh.
Kemudian berbaris nomor tiga dari depan, selalu di banjar pertama pada saat
upacara. Entah itu tempat favoritnya atau memang tanpa sengaja seperti itu.
Aku
tidak tau sejak kapan aku rutin mengikuti Velina ke perpustakaan setiap hari
selasa, ada saja alasan aku ke sana. Seperti rapat OSIS misalnya, atau meminjam
buku penunjang pelajaran, atau hanya duduk dan mengamati Velina. Andai kalian
tau, gadis itu benar-benar tidak membosankan
untuk dilihat. Sangat menarik!
“Shea,
kamu ada acara nggak pulang sekolah nanti?” kalau dibilang ada acara resmi sih
tidak, tapi kalau acara rutin sih ada. Menemani Velina dari jauh waktu dia
nunggu supirnya yang setiap hari rabu lebih telat sekitar sepuluh menit dari
biasanya.
“Shea?
Kok kamu ngelamun sih? Ada acara nggak?”
“Emm,
nggak ada sih, emang kenapa Diana?”
“Anterin
aku pulang ya, aku nggak ada yang jemput nih.”
“Nunggu
sepuluh menit mau? Nanti kamu tunggu di pos satpam ya.”
“Oke
deh nggak apa-apa. Makasih ya!”
Setelah
memastikan Velina pulang, aku menghampiri Diana. Dia teman sekelasku dari kelas
sepuluh, lumayan akrab juga dengan Diana. Sebenarnya, dibandingkan dengan
Velina, Diana lebih cantik, kaya, populer. Banyak yang suka sama Diana,
orangnya baik sama semua orang. Bisa dibilang tipe ideal sih buat dijadikan
pacar.
Setelah
lama diperjalanan, Diana mengajak mampir ke sebuah rumah makan. Aku pikir dia
hanya bisa bicara sama orang-orang di sekitarnya, ternyata semua wanita sama.
Suka bicara kalau memang ada topic yang dibahas. Sampai akhirnya, Diana mulai
membicarakan perasaannya, terutama terhadapku. Aku tidak pernah sadar kalau
Diana menyukaiku, sejak masih kelas sepuluh katanya. Lama sekali, kenapa dia
bisa tahan menyimpan perasaan ketimbang mengungkapkan ya? Ah, seperti aku
sendiri nggak kayak gitu. Tidak! Aku tidak bisa menerima Diana, aku nggak punya
perasaan sama dia. Terlebih perasaanku untuk orang lain.
Tapi,
kenapa gadis baru yang berusia satu bulan itu? Kenapa Velina yang mengganggu
pikiranku. Dia hanya gadis berrambut sebahu, selalu memakai jaket ketika datang
dan pulang sekolah. Kenapa harus gadis yang suka membaca karya Khairil Anwar
itu? Kenapa aku rela menghabiskan waktu istirahat setiap kamis hanya untuk
melihat Velina membaca karya Khairil Anwar. Kenapa aku rela menunggunya berdiri
dan sama-sama memesan bakso bersamanya. Ada apa denganku? Bahkan aku suka
mengetahui aktifitasnya tanpa mengeluh bahwa aku lelah mengamatinya. Ah, aku
tidak akan pernah lelah selama jantungku masih berdegup kencang kelika melihat
mata Velina.
“Ehem!”
aduh siapa ya? Tapi ini suara cewek kok? Masa Velina tau sih aku lagi perhatiin
dia dari tadi? Buku, butuh buku nih, bukunya siapa ya? Ah, terserah deh.
“Shea,
kamu kok grogi gitu sih?”
“Loh,
Diana, kamu ngapain di sini?”
“Aku,
ngikutin kamu kok. Tumben banget sejak sebulan yang lalu kamu selalu dateng ke
perpus setiap hari selasa. Ya aku ngerasa kelakuan kamu aneh, tapi ya apa
salahnya kan aku ngebuntutin kamu yang ternyata kamu sendiri lagiii…..”
“Aku
lagi apa?” duh masa Diana tau sih? Jangan sampai dong.
“Suka
baca majalah gadis? Kamu… sejak kapan?”
“Ohh,
enggak kok, cuma asal ngambil aja. Pengen tau majalah cewek itu kayak gimana.”
“Yakin?”
“Yaaa…
ya yakin lah! Yakin dong!”
“Serius
ke sini cuma buat baca majalah gadis? Bukan buat ngeliatin Velina setiap
selasa?”
“Apa?
Kok kamu mikirnya ke situ? Emm, Velina itu yang mana ya?”
“Kok
kamu gitu sih? Kamu itu cowok!”
“Sssttt,
kita ini di perpus, jangan teriak-teriak gitu dong Diana.”
“Habisnya
aku sebel sama kamu, kamu nggak nyadar apa kalau kamu ini udah sebulan kayak
orang gila? Nggak pernah ada di kelas, selalu pulang telat kalau hari rabu,
rutin datang ke kantin setiap kamis, dan sejak kapan kamu suka sama bakso? Kamu
itu… kamu kenapa sih?”
“Aku
nggak apa-apa kok, makasih udah khawatir. Bentar ya aku pergi dulu.”
“Mau
kemana? Mau buntutin Velina lagi, iya? Mau ngikutin dia ke mana lagi? Kamu
nggak capek apa? Betah banget kamu kayak gitu.”
“Bukannya
lebih lama kamu ya kalau soal suka? Satu tahun kan kamu? Emm, maaf bukannya aku
mau nyinggung Di, maaf ya.”
“Enggak
apa-apa kok, tapi kasusnya beda Shea. Kamu ini cowok, kamu harusnya lebih bisa
mengungkapkan perasaan kamu. Cewek itu kalau udah suka dan nggak berani
ngungkapin, dia Cuma bisa diem dan berharap orang yang di suka itu nyadar.
Emang aneh sih, tapi nggak aneh kalau tugas cowok itu emang yang ngungkapin
perasaan. Umumnya kan gitu.”
“Sayangnya
kita nggak saling kenal, cuma hari itu aja kok. Itu juga kebetulan.”
“Kalau
dia udah punya cowok gimana?”
“Ya
mungkin aku bakalan ngelepasin dia.”
“Sakit
dong!”
“Resiko
kan? Ya mau nggak mau harus gitu kan Di?”
“Terserah
kamu deh, aku tinggal dulu ya.”
“Mau
kemana kamu Di?”
Punggung
Diana semakin menjauh, kemudian hilang di pintu keluar. Ah, kalau begini
susahnya memendam perasaan kenapa wanita bisa tahan selama itu. Tapi, aku juga
nggak bisa menyimpulkan kalau ini perasaan suka kan? Sedangkan aku sendiri cuma
suka melihat Velina tersenyum, melihat matanya ketika melamun. Aku nggak pernah
membayangkan kalau Velina punya pacar. Sepertinya sangat sakit walau hanya
membayangkannya. Udah ah, balik ke kelas aja kalu gitu.
“Velina?”
duh sejak kapan Velina di situ? Tau gitu nggak usah balik badan deh kalau tau
ada Velina. Jangan grogi Shea, kamu itu cowok, ketua OSIS lagi. Pasti bisa!
Mimpin OSIS aja bisa masa mimpin hati sendiri nggak bisa.
“Hai,
emm… aku sebut kamu apa ya? Secret Admirer?”
“Sejak
kapan kamu berdiri di belakangku?”
“Sejak
kamu ngobrol sama Diana.”
“Kamu
kenal Diana?”
“Dia
temanku dari SMP, aku minta Diana buat ngamatin orang yang jadi Secret Admirer
ku akhir-akhir ini. Aku pengen tau seluk beluk orang itu, aku pengen tau
seberapa dia berkorban sebagaiii… emmm… apa ya? Penguntit?”
“Maaf
ya, aku nggak bermaksud buat kamu nggak nyaman. Aku nggak sadar kalau kamu itu
tau aku suka liat kamu, emm, sekali lagi maaf. Aku janji aku nggak bakalan
ganggu kamu lagi. I cross my heart and I promise.”
“Kamu
yakin nyilang hati kamu buat nggak ngikutin aku lagi nggak bakalan berefek?”
“Maksud
kamu?”
“Emm,
aku pengen kenal kamu.”
“Apa?
Kamu bilang apa, Velina?”
“Aku
pengen kenal kamu, dengan syarat kamu harus cerita apa yang kamu tau tentang
aku.”
“Tapi,
aku kan udah…”
“Hanya
ada satu kesempatan. Deal?”
“Emm…
iya, deal!”
“Kenalin,
aku Velina Maharessa. Kamu?”
“Aku
Shea Davidson Gofarolli Akbar, tapi terkenal dengan nama Shea.”
“Apa
yang kamu tentang aku?”
“Kamu?
Aku tau nama kamu Velina Maharessa sejak sebulan yang lalu. Kamu selalu datang
di hari senin sekitar jam setengah tujuh. Berbaris di barisan ketiga dari depan
dan berada di banjar paling kanan atau banjar pertama. Kamu selalu ada di
perpus pada hari selasa pada jam istirahat. Hari rabu itu hari padat, kamu
tetap di kelas walau sudah istirahat. Kemudian pada hari itu juga kamu pulang
lebih lambat sekitar sepuluh menit karena supir kamu telat jemput. Setiap
kamis…. Huuhh…”
“Kenapa?”
“Aku
nafas dulu ya, jantungku degupnya kenceng banget ini,” Velina tersenyum liat
tingkahku.
“Oke!”
“Setiap
kamis, kamu akan ke kantin pada jam istirahat, beli bakso kemudian menikmatinya
sambil membaca setiap buku Khairil Anwar. Hari jum’at, nggak ada yang special
kecuali kamu terlihat lebih cantik pada jam olah raga. Dibandingkan dengan hari
biasa, kamu menguncir rambut kamu. Hari terakhir hari sabtu, hari yang paling
menyenangkan. Aku bersyukur kamu punya minat di organisasi sekolah. Walau hanya
di redaksi majalah, aku suka bisa satu forum sama kamu… huuuhh… aku lega banget
bisa bilang gini. Makasih!”
“Waw!
Keren banget.”
“Jadi?”
“Jadiii…
kenapa?”
“Kita
bisa kenalan?”
“Iya
dong, lalu gimana…”
Sebuah
film pernah menggambarkan, bahwa yang namanya CINTA bila dimanfaatkan dengan
jalan yang baik, maka hasilnya akan baik. Entah ini memang cinta, sayang, suka,
atau kagum. Namun merasakan hal ini kepada orang baik seperti Velina sangat
menyenangkan. Memiliki perasaan itu baik, karena membuktikan bahwa kita masih
hidup. Tapi, memendam perasaan itu buruk, seperti bernafas namun tidak
bergerak. Ya! Seperti orang sedang koma.
TAMAT